Hari ketiga di Penang sekaligus jadi hari terakhir, tapi rasanya setelah melewati perjalanan ini, harusnya bisa tambah sehari lagi, tapi ywdh gpp, nanti balik lagi aja kalau niat, wkwk.
Pagi itu aku berencana untuk pergi ke Georgetown, pusat kotanya Penang. Sengaja ditaro di akhir karena ya suka-suka dong xP Berangkat dari Bayan Baru menuju Jeti (RM2,7) dan turun di ujung Chulia Street. Aku juga sekalian bawa barangku dan nitipin di hostel yang lagi diurus sama kenalan dari CS (gracias Nicole!)
Setelah kemarin sempat mampir ke kedai kopi yang juga jual postcard yang bisa dikirim langsung, hari itu aku balik lagi ke tempat yang sama. Empat kartu pos siap diluncurkan menuju penerimanya di seberang sana. Satu kartu pos lengkap dengan prangko setengah sen dihargai RM3, is that cheap right?
Dari situ, aku berniat sewa sepeda untuk keliling Georgetown. Ada docking station bernama Link Bike yang menyewakan secara otomatis lewat aplikasi di smartphone. Tapi, jujur kecewa banget karena setelah melakukan transaksi dengan membayar deposit dan biaya sewa untuk satu jam pertama, sepeda nggak bisa dipakai sama sekali karena error. Baru kemarin banget kasus ini selesai dan uang deposit balik lagi, fiuuh.
Karena kecewa dan butuh waktu lama, akhirnya aku memutuskan untuk sewa sepeda secara manual. Kepada aunty di Armenian Street dekat Magic Mural, thanks a lot! Harga penyewaannya terbilang murah, RM8 seharian dengan deposit dibulatkan RM50. Sampai pukul 7pm itu, aku bisa sebebasnya keliling Georgetown dilengkapi kunci gembok sepeda. Mendingan di sini aja ges, gak usah repot-repot di yang tadi xP
Berkeliling Georgetown dengan sepeda bener-bener seru banget, meski kalau di laluan yang kecil agak kagok karena selain banyak orang berlalu-lalang, mobil juga kadang nyelip di antaranya. Tapi, yang menyenangkan adalah orang-orang di sana cukup sabaran padahal aku belum lihai banget bawa sepeda. Agak trauma ngeboseh di Bandung, udah kebanyakan diklakson sama pengguna jalan yang serakah. Hisssh!
Aku memang nggak berniat foto di mural populernya Georgetown. Selain karena ogah ngantri yang super panjang, Penang terlalu panas untuk sekadar nunggu doang. Akhirnya, beneran cuma keliling, numpang shalat di Masjid Kapitan Kling, beli ais krim, lihat-lihat, ngeboseh lagi, gitu aja.
Aku juga janjian lagi sama Nicole dan kawan-kawan baru lainnya untuk makan siang bareng. Kami akhirnya jalan menuju salah satu resto vegetarian khas India. Aku pesan chappati set dengan butter milk, bermodalkan cis kacang buncis karena nggak tau makanan apakah itu. Nasi biryani terlalu bosan dan lassi nggak jadi pilihan dulu. And voila, pesanan kami berlima datang juga.
Truth to be told, chappati set ini terdiri dari dua lembar roti ala India (nggak tau apa namanya, apakah canai, prata, naan, nyerah deh!) dan 8 side dish pelengkap yang jadi 'cocolan' si roti tadi. Lagi-lagi, karena aku nggak ngafalin apa aja nama side dish itu, kita deskripsikan langsung aja ya.
Set A berisi sayuran kayak kentang, wortel, buncis, dan sedikit parutan kelapa. Set B kayaknya sih buah bit. Set C sampai E adalah saus dengan bumbu yang kayak rempah ala India. Set F semacam sup sayuran, cuma gak yakin apa sayurnya, entah kangkung, bayam, atau apa. Set G ternyata bubur kacang ijo. Dan Set H, semacam yogurt tapi asam dengan okra dan bawang di dalamnya, and it's the worst set ever, taste like a feet, ewwww.
Chappati set yang kumakan ini jujur bikin aku speechless. Kan kita nggak boleh menghina makanan ya, tapi sumpah aku bingung apa yang kumakan itu, terutama set H dengan saus putih yogurt asam yang tetiba jadi ingat dosa. Buatku, makanan cuma ada dua, enak atau enak banget. Dan sayangnya, saus pelengkap yang satu ini bener-bener nggak aku suka!
Nah, tragedi belum usai karena butter milk yang kupesan ternyata kembaran si saus putih yogurt asam tadi, minus nggak ada okra dan bawang merah gede di dalamnya. Why God why? Aneh! Gegara makan di resto itu, aku rada takut-takut nih makan makanan India lagi. Takut zonk euy!
Sehabis makan yang ya-sudahlah itu, kami berlima memisahkan diri, lebih tepatnya aku yang keluar dari barisan karena ngerasa nggak cukup nyaman jalan kebanyakan orang. Oh, satu bule London itu juga cabut sih, jadi ywdh... jalan lagi sendirian.
Buatku, lebih nyaman jalan sendirian ketimbang banyak orang yang punya selera berbeda-beda. Belum lagi kalau ngariung gitu, jadi bingung harus ngobrol apa ke siapa. Di satu sisi mau akrab sama semua, tapi kayaknya ngalangin jalan deh. Kalau cuma ngobrol sama satu orang, duh aku kan mau ngobrol sama yang lain juga, hhh.
Karena kami ini baru kenal di tempat, butuh waktu dan ruang yang nggak sedikit untuk tahu satu sama lain. Lagipula, aku sendiri juga pengin eksplor suatu area suka-suka hati, mau di sini lama kek, di sana cuma bentar, terserah. Rasanya, kalau dikasih pilihan, mending jalan sendirian aja deh. Kalaupun harus barengan, si temen jalan adalah dia yang mau berkompromi dan saling mengerti.
Keliling Georgetown Mural Street Art ini cukup menyenangkan. Menjadi ibukota dari negeri bagian Penang, kulturnya dipengaruhi oleh budaya British lama, bercampur dengan etnis asli seperti Melayu, China Peranakan, India Tamil, dll. Nggak heran dengan keanekaragaman yang kaya itu, Georgetown jadi salah satu lokasi yang dianugerahi UNESCO World Heritage Site. Well, Georgetown ini bukan satu-satunya tempat yang punya konsep demikian.
Sebut saja Melaka atau Phuket Old Town yang pernah kusinggahi, hampir semua tempat tersebut menyuguhkan pengalaman yang nggak jauh berbeda, shop houses, bangunan-bangunan antik, sejarah jadul, dan mural atau bentuk karya seni lainnya yang nggak hanya dinikmati penduduk lokal, tapi juga pengunjung dari mancanegara. Rasanya, selalu ada kesan tersendiri bagaimana masyarakat menghidupkan kota yang mereka tinggali ini. Hangat dan meriah!
Perjalanan mengayuh sepeda kubawa sedikit lebih jauh, ke Lebuh Keng Kwee di mana lokasi Penang Road Famous Teochew Chendul berada. Kemakan rekomendasi orang-orang? Hm, kenapa nggak? Antrian memang semengular itu, bahkan hampir mendekati jalan besar. Tapi, nggak butuh waktu lama buatku menerima semangkok cendol kacang merah yang dimakan di tempat. Dengan harga RM3,2, uncle penjual cendol dengan lihai (dan super cepet banget!) menyajikan pesanan pelanggan. Doi juga ramah lho karena kebetulan aku bawa kamera dan mendokumentasikannya. Cheers!
Sayang, letak meja buat pelanggan agak jauh. Kalaupun ada meja terdekat, punya lapak sebelah dan dilarang kalau nggak beli di sana. Yah, apa mau dikata, ngedaprok bae di pinggir jalan, nggak pake alas kursi atau apapun. Karena makan nggak boleh sambil berdiri, tapi kalau dibawa jalan agak ribet, jadi ywdh jongkok aja, wkwk.
Cendolnya manis dan ngageleser di mulut, kacang merahnya lembut dengan pas. Gula aren yang menutupi serutan esnya juga nggak giung. Enak banget dinikmati di tengah cuaca Penang yang panasnya bikin gerah bodi. Semangkok cendol famous ini tandas seketika nggak bersisa. Worth the queue!
Di dekat gerobak cendol, ada kedai yang menjual dimsum halal. Dim Sum Valet yang menyajikan panganan dimsum kukus dan goreng homemade. Jangan tanya aku apa namanya, karena bingung saking banyaknya. Aku pesan 4 tray dengan minuman bernama longan. Slurrrpp!
Dimsumnya enak dimakan (ada gak sih kata selain enak? xD), isian ayam atau seafood yang dipilih berasa banget, bukan kaleng-kaleng kebanyakan tepung. Pangsit luarnya juga enak dengan ketebalan yang pas, nggak tipis yang kalau kelamaan dikukus bisa overcooked atau tebel banget yang bikin nggak matang. Longan yang kupesan semacam air mata kucing, dengan buah lengkeng kecoklatan masuk ke dalamnya. Sedaaap!
Selesai makan dan berniat mengayuh sepeda lagi, tetiba hujan turun dengan cukup deras. Yah, untungnya pemilik kedai baik banget mau menampungku. Aku masuk lagi ke dalam dan naik ke lantai dua. Daripada kikuk, ya pesan lagi minuman susu pandan hangat. Ditemani hujan yang mulai mereda beberapa belas menit kemudian, aku turun ke bawah dan lupa bayar minuman kedua ini. Astagfirullah... Dear aunty uncle empunya Dim Sum Valet, maafkan kekhilafanku yang baru sadar ketika nggak lagi di Penang. Semoga diikhlaskan, dan kebaikan mengalir kepada kalian semua. Huhu, kocak banget sih Cip x_x
Beres makan sekitar jam 6pm, aku masih punya sejam lagi untuk pakai sepeda sewaan. Masih dengan keliling Georgetown, dan tepat pukul 7pm, sepeda sudah kembali ke tangan pemilik. Selain adzan yang berkumandang dari Masjid Kapitan Kling di tengah pusat kota, aku menyadari bahwa kehidupan malam Georgetown dimulai saat itu juga. Di beberapa titik rada hening, sementara sisi lainnya, suara alat masak makin meriah, disahut dengan gelas-gelas dari night bar di seberangnya.
Karena malam itu aku harus pindah tempat, aku balik lagi ke hostel Nicole untuk bawa tasku. Nggak makan malam karena ngerasa perut cukup kenyang. Perjalanan dilanjutkan menuju Pangkalan Jeti (Weld Quay), untuk ikut ferry menyeberang ke Butterworth.
Anyway soal ferry ke Butterworth, aku nggak mengeluarkan sepeser ringgit sama sekali. Jadi, tiket penyeberangan hanya berlaku kalau pembelian dilakukan dari Butterworth menuju Georgetown, bukan sebaliknya. Penting kan ya? Tapi kayaknya harga karcisnya juga murah kok, seingatku sekitar RM 2-3 aja untuk waktu tempuh sekitar 25 menit.
Sampai di pelabuhan seberang, area terkoneksi langsung dengan Penang Sentral. Dari sini, aku bakal naik bus menuju Ipoh yang mematok harga RM10 untuk 2 jam perjalanan dengan keberangkatan paling malam pukul 10pm. And the rest stories will continue later...
Post a Comment
Thanks for coming. I am glad you have reading this so far.
♥, acipa