Dari tahun lalu—hari di 2016 maksudnya, desakan untuk segera menulis cerita ini sudah memuncak. Ada satu beban tersendiri kalau di 2016 aku nggak menceritakannya—dan baru sempat ku-publish di tahun berikutnya. Bukan sesuatu yang dipaksakan sih, tapi tekanan yang aku nikmati karena proses yang kulalui selama beberapa bulan ke belakang cukup aku senangi.
Aku nggak pernah berpikir untuk menuliskannya di blog, selain janji-janjiku di caption instagram yang membuatku rindu untuk bersua dengan blog ini. “Nanti ya, kalau sempat, kalau inget, kalau ada yang mau baca,... kalau lagi ujan!” Hari ini nggak lagi hujan, sempat atau nggak sejujurnya selama ini aku selalu punya banyak kesempatan, masalah mau menggunakannya untuk menulis itulah yang nggak pernah aku manfaatkan dengan baik. Kalau ingat, tentulah sekarang lagi ingat, dengan sadar aku menulis ini. Terakhir, perihal ada yang mau baca atau nggak, aku nggak lagi mengkhawatirkannya secara berlebihan.
Jadi gini...
Seperti kebanyakan kampus, di minggu-minggu pertama masuk kuliah biasanya masih diisi dengan pemanasan, terkait dengan pengenalan dosen, kontak yang bisa dihubungi, dan segala peraturan dari masing-masing dosen. Apakah aku antusias? Tentu saja, masih belum percaya kalau aku beneran jadi mahasiswa, di kampus itu.
Keantusiasan itu nyatanya terlalu berlangsung lama, di saat memasuki minggu kedua dimana teman-temanku mulai ngambis—sebutan untuk mereka yang berambisius untuk belajar sangat (SANGAT) rajin—aku masih terlalu menikmati euforia menjadi mahasiswa baru. Hal itulah yang akhirnya bikin aku ngerasa “kayaknya masih oke-oke aja buat santai, masih awal-awal ini kok, kalem lah...” dan berbagai pikiran bodoh lainnya yang belum menyadarkanku, bahwa di minggu kedua masuk, jadwal ujian semester pertama sudah disebarkan.
Apakah setelah mendapat kabar tersebut aku langsung ikut-ikutan ngambis? Nggak! Aku masih leyeh-leyeh, bahkan ada waktu di saat aku ngerasa bingung. Yap, kondisi dimana nggak tahu harus apa dan bagaimana, seolah-olah jadi orang yang paling nggak tahu apapun karena berada di kondisi yang serba baru. Padahal, kalau saja saat itu ada yang menyadarkanku—atau sadar sendiri—aku bisa saja sama ngambisnya seperti teman-teman yang lain, ngambis untuk mengkhatamkan berbagai contoh soal ujian dari tahun-tahun lalu, ngambis untuk belajar dan memahami materi minggu depan lebih awal, dan berbagai tipe ngambis lainnya.
Tapi sayang seribu sayang, itu beberapa bulan lalu yang sudah kulewati. Aku selalu bilang ke diriku sendiri “oke, kamu agak ketinggalan, mending dimulai dari awal lagi aja, biar paham buat materi berikutnya”, dan kalimat itu terus berulang-ulang tanpa ada perbuatan yang berbanding lurus dengan pemikiranku. Semuanya mengendap cuma jadi wacana belaka, dan menjelang masa-masa ujian aku ketar-ketir, menjadi salah satu orang yang dengan bodohnya melakukan SKS alias Sistem Kebut Sangkuriang. Dan... aku tunda dulu ending soal ujian ini untuk di akhir cerita ya ^^
Di awal-awal masuk itu, seperti yang aku bilang tadi, sempat ada waktu kosong a.k.a ketika aku ngerasa bingung untuk ngelakuin apapun. Aku malah pernah mencurhatkan ini ke kakak tingkatku karena ngerasa kebingungan ini nggak tertolong lagi setelah aku lewati hingga minggu ketiga. Ada sarannya yang memang aku perhatikan, tapi nggak aku jalankan, karena mungkin aku lebih mengiyakan usul untuk mencoba aktif di kampus dalam berbagai kegiatan.
Dan iya, aku ingat kegiatan nonakademik pertamaku adalah ikut jadi panitia Reuni Alumni ITB ’96, meski baru ditunjuk beberapa hari menjelang acara dan cuma jadi penjaga meja registrasi, aku senang karena itu jadi gerbang awal aku ikut kepanitiaan sana-sini. Karena setelahnya, aku mulai daftar di berbagai kepanitiaan terpusat yang diawali dari Wisuda Oktober 2016. Setelah itu, aku nggak ingat lagi udah berapa banyak form isian yang aku submit untuk ikut kegiatan-kegiatan 'gituan’.
Di Wisokto—Wisuda Oktober—2016, aku daftar dan terpilih untuk jadi panitia di divisi Fundraising, alias bagian Danus (Dana dan Usaha, fyi). Kerjanya apa? Apalagi kalau bukan nyari duit, cara yang paling gampang adalah berjualan makanan di kampus. Sebenarnya banyak program kerja lain juga sih yang menyenangkan untuk dilakukan, dari situ aku punya pemikiran bahwa “Kamu bukan mahasiswa (ITB) kalau kamu nggak pernah ngedanus” –Acipa, 17 tahun.
Nggak cuma itu, aku juga mulai coba 'nyicip' divisi lain yang nggak kalah seru di kepanitiaan yang berbeda, yakni Publikasi untuk acara Rumah Cantik Annisaa ITB 2016. Tbh, ini adalah kepanitiaan yang aku sukai awalnya karena cuma diikuti perempuan-perempuan tangguh, ahzek, tapi sayangnya... persiapan yang kurang matang bikin aku kurang ngerasa puas, hehe.
Nggak hanya dua kepanitiaan itu aja yang aku ikuti, tapi juga berbagai kegiatan semacam unit dan program kerja yang diusung oleh Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB pernah aku jajaki. Dari promosi unit yang dilakukan di masa orientasi awal mahasiswa baru lewat Festival Integrasi 2016, aku memantapkan pilihanku untuk ikut GAMAIS (Keluarga Mahasiswa Islam) ITB dan Radio Kampus ITB. Kenapa harus dua itu? Unit agama itu penting dan unit yang benar-benar menyalurkan bakat ketika kamu kuliah di program studi yang berbeda juga nggak kalah penting. Minimal nggak jadi anak Fikom, bisalah ikut unit media lewat RK ITB ini.
Dan yang paling berkesan buatku adalah keikutsertaan dalam program dari salah satu kementerian KM ITB, yakni Nyala Candradimuka. Aku nggak bisa mendefinisikan secara gamblang tentang apa sih Nyala Candradimuka, karena pada dasarnya ada banyak sekali pelajaran (hidup) yang kudapatkan dari kegiatan ini, awalnya mungkin banyak yang berpikir bahwa Nyala Candradimuka semacam sekolah organisasi, tapi nggak kok, maknanya jauh lebih dari itu, intinya adalah bagaimana kita mau bergerak dan mau menggerakkan.
Yang disayangkan dari semua itu adalah, aku belum merasakan untuk ikut magang dan sekolah kabinet di KM ITB karena terlalu banyak pertimbangan dan baru mau daftar setelah link oprec-nya ditutup. Aku menyayangkan juga kenapa aku nggak begitu totalitas secara maksimal dalam berkegiatan di unit dari sejak awal masa kaderisasinya. Aku juga sempat memilih nggak melanjutkan satu kepanitiaan yang menurutku akan memunculkan perseteruan di tengah keberjalanan prosesnya—dan itu terbukti terjadi. Semua itu bermuara pada pemikiran-pemikiranku yang belum cukup dewasa, nyatanya dari hal tersebut aku paham bahwa belum sepenuhnya aku beranjak dari zona nyamanku, aku masih jalan di tempat.
Di akhir semester, ketika ada jeda aku nggak sibuk lagi jadi panitia karena mulai masuk minggu ujian, aku banyak merenungkan hal-hal tadi, pikiran itu mulai membuyarkan konsentrasi belajarku, hingga selesai masa-masa ujian pun, aku kembali berpikir tentang dua hal ini “sebenarnya apa sih yang aku dapat dari semua ini?” dan “apakah aku menyesal?”
Aku sempat mempertanyakan untuk apa aku susah payah menjalani berbagai hal itu di saat teman-teman sefakultasku kebanyakan lebih memerhatikan kepentingan akademik mereka, apakah supaya pamer dan dicap jadi aktivis kampus? Apakah supaya aku dikenal banyak orang dan jadi satu yang nggak luput dari grup line berisi ratusan massa kampus? Sebenarnya, apa sih yang aku cari dan aku dapatkan dari semua ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkelebat dan membayangi pikiranku, bahkan aku sempat menyatakan ini dalam obrolan via telepon dengan salah satu teman dekatku. Tentu saja jawaban yang dia suguhkan nggak memenuhi apa yang sebenarnya hatiku harapkan. Dia memang memberikan balasan yang baik, tapi buatku itu nggak cukup untuk memenuhi tingkat kepuasanku, kayak masih ada yang kurang gitu.
Jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku nggak pernah menyesali sedikitpun apa yang telah kulewati selama satu semester ini. Nggak pernah sama sekali. Aku nggak menyesal karena aku percaya perasaan itu nggak sebanding dengan banyak pelajaran yang kudapat setelah menjalani 6 bulan pertamaku menjadi mahasiswa. Aku nggak menyesal kalau mungkin pada akhirnya aku harus menjalani UAS sebagai salah satu bentuk ujian perbaikan karena nilaiku nyaris di ambang batas kelulusan. Aku nggak menyesal untuk sibuk dan aktif di berbagai kegiatan kampus, bahkan sampai jam tengah malam yang nggak pernah aku bayangkan aku masih ada di kampus saat itu.
Aku nggak pernah sama sekali menyesali hal itu.
Tapi...
Aku kecewa karena aku nggak sebegitu bagusnya dalam menjalani kegiatan akademik dan nonakademikku. Aku kecewa karena nyatanya aku nggak jago menyeimbangkan keduanya. Aku kecewa karena seringkali saat harus dihadapkan pada dua agenda kegiatan di jam dan waktu yang sama, aku kadang lebih memilih untuk nggak pergi dua-duanya. Aku kecewa karena aku nggak bisa maksimal dan sesempurna seperfeksionis ekspektasiku dalam menjalani sesuatu.
Akhirnya, mau gimana lagi, satu semester udah selesai, mau diutak-atik segimanapun, itulah usaha yang baru bisa kukerahkan. Aku selalu berusaha semampuku, meski aku sering meyakini bahwa itu bukan kemampuan terbaikku. Kadang, mungkin kita pernah mengalami masa dimana kita nggak puas dengan kerja yang kita lakukan sendiri. Udah tahu kurang, tapi nggak diperbagus lagi. Entah bodoh atau memang malas, tapi aku berharap perbuatan ini nggak terulang lagi dan jadi sikap yang terbiasakan. Aku harap juga, kata-kata ini nggak sekadar kalimat pernyataan, tapi juga mindset yang harus benar-benar tertanam bahwa di waktu-waktu mendatang, aku—dan tentunya kita semua—harus jadi orang yang lebih baik dari hari ke hari. Amin.
Jadi gini...
Seperti kebanyakan kampus, di minggu-minggu pertama masuk kuliah biasanya masih diisi dengan pemanasan, terkait dengan pengenalan dosen, kontak yang bisa dihubungi, dan segala peraturan dari masing-masing dosen. Apakah aku antusias? Tentu saja, masih belum percaya kalau aku beneran jadi mahasiswa, di kampus itu.
Keantusiasan itu nyatanya terlalu berlangsung lama, di saat memasuki minggu kedua dimana teman-temanku mulai ngambis—sebutan untuk mereka yang berambisius untuk belajar sangat (SANGAT) rajin—aku masih terlalu menikmati euforia menjadi mahasiswa baru. Hal itulah yang akhirnya bikin aku ngerasa “kayaknya masih oke-oke aja buat santai, masih awal-awal ini kok, kalem lah...” dan berbagai pikiran bodoh lainnya yang belum menyadarkanku, bahwa di minggu kedua masuk, jadwal ujian semester pertama sudah disebarkan.
Apakah setelah mendapat kabar tersebut aku langsung ikut-ikutan ngambis? Nggak! Aku masih leyeh-leyeh, bahkan ada waktu di saat aku ngerasa bingung. Yap, kondisi dimana nggak tahu harus apa dan bagaimana, seolah-olah jadi orang yang paling nggak tahu apapun karena berada di kondisi yang serba baru. Padahal, kalau saja saat itu ada yang menyadarkanku—atau sadar sendiri—aku bisa saja sama ngambisnya seperti teman-teman yang lain, ngambis untuk mengkhatamkan berbagai contoh soal ujian dari tahun-tahun lalu, ngambis untuk belajar dan memahami materi minggu depan lebih awal, dan berbagai tipe ngambis lainnya.
Tapi sayang seribu sayang, itu beberapa bulan lalu yang sudah kulewati. Aku selalu bilang ke diriku sendiri “oke, kamu agak ketinggalan, mending dimulai dari awal lagi aja, biar paham buat materi berikutnya”, dan kalimat itu terus berulang-ulang tanpa ada perbuatan yang berbanding lurus dengan pemikiranku. Semuanya mengendap cuma jadi wacana belaka, dan menjelang masa-masa ujian aku ketar-ketir, menjadi salah satu orang yang dengan bodohnya melakukan SKS alias Sistem Kebut Sangkuriang. Dan... aku tunda dulu ending soal ujian ini untuk di akhir cerita ya ^^
Di awal-awal masuk itu, seperti yang aku bilang tadi, sempat ada waktu kosong a.k.a ketika aku ngerasa bingung untuk ngelakuin apapun. Aku malah pernah mencurhatkan ini ke kakak tingkatku karena ngerasa kebingungan ini nggak tertolong lagi setelah aku lewati hingga minggu ketiga. Ada sarannya yang memang aku perhatikan, tapi nggak aku jalankan, karena mungkin aku lebih mengiyakan usul untuk mencoba aktif di kampus dalam berbagai kegiatan.
Dan iya, aku ingat kegiatan nonakademik pertamaku adalah ikut jadi panitia Reuni Alumni ITB ’96, meski baru ditunjuk beberapa hari menjelang acara dan cuma jadi penjaga meja registrasi, aku senang karena itu jadi gerbang awal aku ikut kepanitiaan sana-sini. Karena setelahnya, aku mulai daftar di berbagai kepanitiaan terpusat yang diawali dari Wisuda Oktober 2016. Setelah itu, aku nggak ingat lagi udah berapa banyak form isian yang aku submit untuk ikut kegiatan-kegiatan 'gituan’.
Di Wisokto—Wisuda Oktober—2016, aku daftar dan terpilih untuk jadi panitia di divisi Fundraising, alias bagian Danus (Dana dan Usaha, fyi). Kerjanya apa? Apalagi kalau bukan nyari duit, cara yang paling gampang adalah berjualan makanan di kampus. Sebenarnya banyak program kerja lain juga sih yang menyenangkan untuk dilakukan, dari situ aku punya pemikiran bahwa “Kamu bukan mahasiswa (ITB) kalau kamu nggak pernah ngedanus” –Acipa, 17 tahun.
Nggak hanya dua kepanitiaan itu aja yang aku ikuti, tapi juga berbagai kegiatan semacam unit dan program kerja yang diusung oleh Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB pernah aku jajaki. Dari promosi unit yang dilakukan di masa orientasi awal mahasiswa baru lewat Festival Integrasi 2016, aku memantapkan pilihanku untuk ikut GAMAIS (Keluarga Mahasiswa Islam) ITB dan Radio Kampus ITB. Kenapa harus dua itu? Unit agama itu penting dan unit yang benar-benar menyalurkan bakat ketika kamu kuliah di program studi yang berbeda juga nggak kalah penting. Minimal nggak jadi anak Fikom, bisalah ikut unit media lewat RK ITB ini.
Dan yang paling berkesan buatku adalah keikutsertaan dalam program dari salah satu kementerian KM ITB, yakni Nyala Candradimuka. Aku nggak bisa mendefinisikan secara gamblang tentang apa sih Nyala Candradimuka, karena pada dasarnya ada banyak sekali pelajaran (hidup) yang kudapatkan dari kegiatan ini, awalnya mungkin banyak yang berpikir bahwa Nyala Candradimuka semacam sekolah organisasi, tapi nggak kok, maknanya jauh lebih dari itu, intinya adalah bagaimana kita mau bergerak dan mau menggerakkan.
Yang disayangkan dari semua itu adalah, aku belum merasakan untuk ikut magang dan sekolah kabinet di KM ITB karena terlalu banyak pertimbangan dan baru mau daftar setelah link oprec-nya ditutup. Aku menyayangkan juga kenapa aku nggak begitu totalitas secara maksimal dalam berkegiatan di unit dari sejak awal masa kaderisasinya. Aku juga sempat memilih nggak melanjutkan satu kepanitiaan yang menurutku akan memunculkan perseteruan di tengah keberjalanan prosesnya—dan itu terbukti terjadi. Semua itu bermuara pada pemikiran-pemikiranku yang belum cukup dewasa, nyatanya dari hal tersebut aku paham bahwa belum sepenuhnya aku beranjak dari zona nyamanku, aku masih jalan di tempat.
Di akhir semester, ketika ada jeda aku nggak sibuk lagi jadi panitia karena mulai masuk minggu ujian, aku banyak merenungkan hal-hal tadi, pikiran itu mulai membuyarkan konsentrasi belajarku, hingga selesai masa-masa ujian pun, aku kembali berpikir tentang dua hal ini “sebenarnya apa sih yang aku dapat dari semua ini?” dan “apakah aku menyesal?”
Aku sempat mempertanyakan untuk apa aku susah payah menjalani berbagai hal itu di saat teman-teman sefakultasku kebanyakan lebih memerhatikan kepentingan akademik mereka, apakah supaya pamer dan dicap jadi aktivis kampus? Apakah supaya aku dikenal banyak orang dan jadi satu yang nggak luput dari grup line berisi ratusan massa kampus? Sebenarnya, apa sih yang aku cari dan aku dapatkan dari semua ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkelebat dan membayangi pikiranku, bahkan aku sempat menyatakan ini dalam obrolan via telepon dengan salah satu teman dekatku. Tentu saja jawaban yang dia suguhkan nggak memenuhi apa yang sebenarnya hatiku harapkan. Dia memang memberikan balasan yang baik, tapi buatku itu nggak cukup untuk memenuhi tingkat kepuasanku, kayak masih ada yang kurang gitu.
Jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku nggak pernah menyesali sedikitpun apa yang telah kulewati selama satu semester ini. Nggak pernah sama sekali. Aku nggak menyesal karena aku percaya perasaan itu nggak sebanding dengan banyak pelajaran yang kudapat setelah menjalani 6 bulan pertamaku menjadi mahasiswa. Aku nggak menyesal kalau mungkin pada akhirnya aku harus menjalani UAS sebagai salah satu bentuk ujian perbaikan karena nilaiku nyaris di ambang batas kelulusan. Aku nggak menyesal untuk sibuk dan aktif di berbagai kegiatan kampus, bahkan sampai jam tengah malam yang nggak pernah aku bayangkan aku masih ada di kampus saat itu.
Aku nggak pernah sama sekali menyesali hal itu.
Tapi...
Aku kecewa karena aku nggak sebegitu bagusnya dalam menjalani kegiatan akademik dan nonakademikku. Aku kecewa karena nyatanya aku nggak jago menyeimbangkan keduanya. Aku kecewa karena seringkali saat harus dihadapkan pada dua agenda kegiatan di jam dan waktu yang sama, aku kadang lebih memilih untuk nggak pergi dua-duanya. Aku kecewa karena aku nggak bisa maksimal dan sesempurna seperfeksionis ekspektasiku dalam menjalani sesuatu.
Akhirnya, mau gimana lagi, satu semester udah selesai, mau diutak-atik segimanapun, itulah usaha yang baru bisa kukerahkan. Aku selalu berusaha semampuku, meski aku sering meyakini bahwa itu bukan kemampuan terbaikku. Kadang, mungkin kita pernah mengalami masa dimana kita nggak puas dengan kerja yang kita lakukan sendiri. Udah tahu kurang, tapi nggak diperbagus lagi. Entah bodoh atau memang malas, tapi aku berharap perbuatan ini nggak terulang lagi dan jadi sikap yang terbiasakan. Aku harap juga, kata-kata ini nggak sekadar kalimat pernyataan, tapi juga mindset yang harus benar-benar tertanam bahwa di waktu-waktu mendatang, aku—dan tentunya kita semua—harus jadi orang yang lebih baik dari hari ke hari. Amin.
Post a Comment
Thanks for coming. I am glad you have reading this so far.
♥, acipa