Kehilangan semangat untuk menulis lagi itu sama kayak kehilangan pacar, eh lupa padahal nggak pernah punya hehe. Pokoknya, rasanya nggak enak, banget! Sebelum aku mencoba menulis ini, ada satu draf yang kuniatkan untuk menjadi cerita penutup akhir tahun 2016. Sayangnya, entah karena aku yang terlalu baper atau memang sulit—sulit ditulis dan sulit diceritakan—cerita itu belum aku lanjut lagi. Tapi pastinya, aku bakal persiapkan tulisan tersebut supaya bener-bener publish di blog ini. Intinya, kamu nggak perlu susah-susah penasaran cerita tentang apa itu, bakal ada saatnya untuk di-post kok. Tinggal tunggu waktu, so iye bet dah ada yang mau nungguin, hah.
Malam tadi, aku sempat bikin stories di Instagram soal keluhanku yang satu ini, sedih rasanya nggak bisa ngeblog lagi, sedih nggak ada semangat untuk menyalurkan segala perasaan, menumpah-ruahkannya dengan sengaja di blog ini, meski pada akhirnya aku sering merasa malu kalau sampai ada orang yang membicarakan blogku secara langsung. Maksudku, Mamahku baca tulisanku aja kayak pura-pura nggak inget aku pernah nulis cerita itu, belum termasuk teman-temanku atau saudara-saudara yang menyadari aku 'bisa’ menulis.
Beneran ya, aku kadang suka pamer kalau aku punya blog (apalagi punya domain sendiri, haha, astagfirullah) dan bilang “jangan lupa baca ya, buka di www.asysyifaahs.com, dan blablabla” berniat mempromosikan blog supaya lebih banyak orang yang baca, tapi... kadang aku nggak pernah siap dengan reaksi mereka setelahnya.
Aku menerima semua kritik, saran, atau apapun itu, mau mereka mencerca, nggak senang, atau syukur-syukur suka sama tulisanku, aku bahagia banget dengan segala jenis feedback, tapi yang selalu aku nggak bisa adalah menerima semua itu secara langsung, bertatapan muka.
At least, kalau feedback disampaikan lewat media lain, semacam chat messenger atau email, aku nggak begitu takut untuk mengekspresikan ungkapanku terhadap reaksi mereka. Aku tinggal benahi apa yang kurang dan lanjut apa yang sudah baik, sekalinya mereka suka tulisanku, sudah dipastikan aku bakal jingkrak-jingkrak kesenangan, heboh sendiri kek ABG baru ditembak *kayak udah pernah aja*. Beda lagi ceritanya kalau secara langsung, rasanya kayak pengen mengubur diri, aku tiba-tiba kayak putri malu yang menguncup kalau disentuh *jangan sentuh aku mas, halalin aja, apaan sih*.
Beberapa minggu yang lalu, teman sefakultasku bilang kalau dia sempat nyasar ke blogku, hal itu diawali karena dia berniat nyari nama temannya di Google, eh taunya nama tersebut mengarah ke blogku yang memang pernah mejeng beberapa kali disini. Lalu dia bilang sesuatu setelah itu, aku sempat bingung apakah aku pernah macam-macam sama nama orang tersebut, lalu aku ceklah, dan... iyes, saat itu juga, tanpa berpikir panjang, aku langsung login akun bloggerku via laptop orang lain *laptopku mati, btw fyi* dan karena menurutku, menurutku ya, tulisan itu sangatlah “menjijikkan”, I mean, pemikiran ala ala cinta segitiga anak SMP yang baperan siapa sih yang bakal suka, akhirnya aku hapus tulisan itu. Khawatir terjadi kesalahpahaman yang nggak-nggak, apalagi tau kalau nama dari orang tersebut adalah orang yang akhirnya sekampus denganku tahun ini *takdir macam apa ini?*
Lalu, apa hikmah dari paragraf-paragraf di atas? Segalanya berujung pada satu pernyataan, bahwa aku rindu menulis lagi, terlepas dari kejadian-kejadian aneh yang jadi sebab dan akibatnya. Ada hal yang nggak bisa aku ungkapkan ketika aku mencoba menceritakannya lewat sebuah tulisan dan aku publish di blog.
Dari dulu, aku sering mengeluh nggak pernah sempat, nggak punya mood, nggak ada feel yang pas untuk mulai menulis lagi. Padahal semua itu bohong, aku membohongi diriku sendiri untuk nggak mau menulis. Tanya ide saat ini juga, maka aku bakal nyerocos tiada henti apa saja yang berkecamuk dalam pikiranku di detik yang sama. Tuh kan, alasan-alasan itulah yang selama ini aku biarkan, tanpa ada kemauan untuk terbebas dari hal-hal tersebut, dan ‘memaksa diri’ untuk mulai menulis, tentang apapun itu.
Aku rindu menulis, entah reaksi apa yang bakal muncul dari pembacaku, aku akan selalu menyambut baik hal itu. Ada perasaan mewah yang nggak mungkin aku dapatkan kalau bukan dari menulis. Tanggapan yang mereka berikan, meski di beberapa waktu aku sering merasa malu, adalah booster buatku, pengingat “kapan kamu nulis?” adalah hidayah agar aku kembalike jalan yang benar untuk bercerita lagi di blog ini. Mungkin semacam pertanyaan yang bisa disejajarkan dengan “kapan kamu nikah?”, eh.
Nggak banyak memang yang menanyakan kabarku kenapa nggak ngeblog lagi, bahkan dihitung dengan jari cicak pun nggak akan bisa, saking sedikitnya. Tapi, bukan masalah seberapa banyak sih, aku lebih merasa terharu, ternyata masih ada yang ingat. Bukan karena mereka suka sama tulisanku sih ya, tapi mungkin cerita-cerita di blog ini bisa jadi hal ternirfaedah sepanjang masa yang pernah mereka lakukan meski tidak patut dikecewai, so iye bet dah.
Terima kasih untuk siapapun itu yang menanyakanku kapan kembali, bukan hanya untuk kalian, tapi juga untuk diriku sendiri, berharap lebih banyak refleksi yang aku dapatkan selepas aku bercerita satu kisah yang telah aku lewati dari hari ke hari. Rada-rada bersyair gitu ya, lol.
Aku baru sadar kenapa aku nggak menulis, hal itulah yang akhirnya jadi sumber kegalauanku selama beberapa bulan belakang ini. Aku galau karena aku nggak menulis, yang akhirnya bikin aku berpikir bahwa aku nggak menulis karena aku galau. Padahal ya, kata orang, perasaan galau adalah saat yang tepat untuk berekspresi sebebas mungkin untuk mencurahkan segala isi hati tanpa takut merasa dihakimi. Galau punya efek yang dahsyat, ketika seseorang lagi di masa-masa terendahnya, bukan nggak mungkin hal luar biasa akan muncul dari perasaan tersebut. Aku nggak mengacu hal ini pada bukti apapun itu, tapi kuyakin banyak di antara kita yang mengamini hal ini. Iya kan? Amin!
Penyesalan itu memang selalu di akhir, apalagi ini akhir tahun. Aku menyesal tahun 2016 nggak jadi tahun terbaikku dalam hal blogging, terlihat dari kuantitas tulisanku yang menurun drastis. Kalau aku harus punya aksi bela diri, "kuantitas sedikit tapi kualitas bagus", nggak ada juga yang patut kubanggakan, karena bisa jadi baik kuantitas maupun kualitas, keduanya sama-sama nggak ada yang bagus.
Apakah aku kecewa? Bisa jadi iya, tapi aku tetap bersyukur karena sepertinya banyak life lesson yang kudapatkan lebih dulu untuk kemudian di tahun besok aku bakal produktif, super produktif kalau bisa, menulis lebih banyak (dan lebih baik). Aku bakal mencoba strategi tulis draf sebanyak mungkin, untuk kemudian di-publish kapanpun aku siap. Kamu mau meniru cara ini? Dengan sangat senang hati silakan, mari produktif bersama :)
Setelah 1000an kata sebelum ini aku ketik, ada perasaan lega yang teramat kurasa dalam hatiku. Aku senang bukan main, karena kurang lebih satu jam aku bisa secepat ini dalam bercerita. Well, nggak bisa diacungi jempol juga kalau isinya ‘kosong’ dan hanya curhat keluhan kayak gini, haha.
Tapi yang pasti, selamat untukmu yang telah berhasil menjalani 2016 ini dengan segala suka-duka cerita-derita yang kamu alami masing-masing. Setidaknya terima kasih untuk kamu yang pernah sempat menghampiri blog usang ini—paling nggak traffic pengunjungku bertambah satu, wkwk. Aku nggak selalu berharap kamu akan suka dengan segala apa yang aku tulis, aku hanya berharap kamu bisa mendapatkan sesuatu yang kubagi disini. Dan maaf nggak pernah bisa memuaskan ekspektasimu jika ternyata kamu sengaja datang ke blogku dari tautan manapun itu atau memang benar-benar tersesat untuk mengisi kenirfaedahanmu.
Selamat menyelesaikan 2016 dengan bahagia, jangan terkejut kalau besok kamu bangun tau-tau udah di tahun yang baru, jangan salah nulis tahun lagi ya, biasanya tahun baru masih sering lupa nulis angka satuan di belakang, masih keukeuh di 2016, move on yuk!
Aku nggak akan kemana-mana, masih disini, besok kayaknya bakal ada cerita lagi. Doakan terus ya supaya kita masih tetap senang menulis. Semoga kamu nggak bosan apalagi enek kalau aku bakal sering nulis, insyaAllah dan amin.
Malam tadi, aku sempat bikin stories di Instagram soal keluhanku yang satu ini, sedih rasanya nggak bisa ngeblog lagi, sedih nggak ada semangat untuk menyalurkan segala perasaan, menumpah-ruahkannya dengan sengaja di blog ini, meski pada akhirnya aku sering merasa malu kalau sampai ada orang yang membicarakan blogku secara langsung. Maksudku, Mamahku baca tulisanku aja kayak pura-pura nggak inget aku pernah nulis cerita itu, belum termasuk teman-temanku atau saudara-saudara yang menyadari aku 'bisa’ menulis.
Beneran ya, aku kadang suka pamer kalau aku punya blog (apalagi punya domain sendiri, haha, astagfirullah) dan bilang “jangan lupa baca ya, buka di www.asysyifaahs.com, dan blablabla” berniat mempromosikan blog supaya lebih banyak orang yang baca, tapi... kadang aku nggak pernah siap dengan reaksi mereka setelahnya.
Aku menerima semua kritik, saran, atau apapun itu, mau mereka mencerca, nggak senang, atau syukur-syukur suka sama tulisanku, aku bahagia banget dengan segala jenis feedback, tapi yang selalu aku nggak bisa adalah menerima semua itu secara langsung, bertatapan muka.
At least, kalau feedback disampaikan lewat media lain, semacam chat messenger atau email, aku nggak begitu takut untuk mengekspresikan ungkapanku terhadap reaksi mereka. Aku tinggal benahi apa yang kurang dan lanjut apa yang sudah baik, sekalinya mereka suka tulisanku, sudah dipastikan aku bakal jingkrak-jingkrak kesenangan, heboh sendiri kek ABG baru ditembak *kayak udah pernah aja*. Beda lagi ceritanya kalau secara langsung, rasanya kayak pengen mengubur diri, aku tiba-tiba kayak putri malu yang menguncup kalau disentuh *jangan sentuh aku mas, halalin aja, apaan sih*.
Beberapa minggu yang lalu, teman sefakultasku bilang kalau dia sempat nyasar ke blogku, hal itu diawali karena dia berniat nyari nama temannya di Google, eh taunya nama tersebut mengarah ke blogku yang memang pernah mejeng beberapa kali disini. Lalu dia bilang sesuatu setelah itu, aku sempat bingung apakah aku pernah macam-macam sama nama orang tersebut, lalu aku ceklah, dan... iyes, saat itu juga, tanpa berpikir panjang, aku langsung login akun bloggerku via laptop orang lain *laptopku mati, btw fyi* dan karena menurutku, menurutku ya, tulisan itu sangatlah “menjijikkan”, I mean, pemikiran ala ala cinta segitiga anak SMP yang baperan siapa sih yang bakal suka, akhirnya aku hapus tulisan itu. Khawatir terjadi kesalahpahaman yang nggak-nggak, apalagi tau kalau nama dari orang tersebut adalah orang yang akhirnya sekampus denganku tahun ini *takdir macam apa ini?*
Lalu, apa hikmah dari paragraf-paragraf di atas? Segalanya berujung pada satu pernyataan, bahwa aku rindu menulis lagi, terlepas dari kejadian-kejadian aneh yang jadi sebab dan akibatnya. Ada hal yang nggak bisa aku ungkapkan ketika aku mencoba menceritakannya lewat sebuah tulisan dan aku publish di blog.
Dari dulu, aku sering mengeluh nggak pernah sempat, nggak punya mood, nggak ada feel yang pas untuk mulai menulis lagi. Padahal semua itu bohong, aku membohongi diriku sendiri untuk nggak mau menulis. Tanya ide saat ini juga, maka aku bakal nyerocos tiada henti apa saja yang berkecamuk dalam pikiranku di detik yang sama. Tuh kan, alasan-alasan itulah yang selama ini aku biarkan, tanpa ada kemauan untuk terbebas dari hal-hal tersebut, dan ‘memaksa diri’ untuk mulai menulis, tentang apapun itu.
Aku rindu menulis, entah reaksi apa yang bakal muncul dari pembacaku, aku akan selalu menyambut baik hal itu. Ada perasaan mewah yang nggak mungkin aku dapatkan kalau bukan dari menulis. Tanggapan yang mereka berikan, meski di beberapa waktu aku sering merasa malu, adalah booster buatku, pengingat “kapan kamu nulis?” adalah hidayah agar aku kembali
Nggak banyak memang yang menanyakan kabarku kenapa nggak ngeblog lagi, bahkan dihitung dengan jari cicak pun nggak akan bisa, saking sedikitnya. Tapi, bukan masalah seberapa banyak sih, aku lebih merasa terharu, ternyata masih ada yang ingat. Bukan karena mereka suka sama tulisanku sih ya, tapi mungkin cerita-cerita di blog ini bisa jadi hal ternirfaedah sepanjang masa yang pernah mereka lakukan meski tidak patut dikecewai, so iye bet dah.
Terima kasih untuk siapapun itu yang menanyakanku kapan kembali, bukan hanya untuk kalian, tapi juga untuk diriku sendiri, berharap lebih banyak refleksi yang aku dapatkan selepas aku bercerita satu kisah yang telah aku lewati dari hari ke hari. Rada-rada bersyair gitu ya, lol.
Aku baru sadar kenapa aku nggak menulis, hal itulah yang akhirnya jadi sumber kegalauanku selama beberapa bulan belakang ini. Aku galau karena aku nggak menulis, yang akhirnya bikin aku berpikir bahwa aku nggak menulis karena aku galau. Padahal ya, kata orang, perasaan galau adalah saat yang tepat untuk berekspresi sebebas mungkin untuk mencurahkan segala isi hati tanpa takut merasa dihakimi. Galau punya efek yang dahsyat, ketika seseorang lagi di masa-masa terendahnya, bukan nggak mungkin hal luar biasa akan muncul dari perasaan tersebut. Aku nggak mengacu hal ini pada bukti apapun itu, tapi kuyakin banyak di antara kita yang mengamini hal ini. Iya kan? Amin!
Penyesalan itu memang selalu di akhir, apalagi ini akhir tahun. Aku menyesal tahun 2016 nggak jadi tahun terbaikku dalam hal blogging, terlihat dari kuantitas tulisanku yang menurun drastis. Kalau aku harus punya aksi bela diri, "kuantitas sedikit tapi kualitas bagus", nggak ada juga yang patut kubanggakan, karena bisa jadi baik kuantitas maupun kualitas, keduanya sama-sama nggak ada yang bagus.
Apakah aku kecewa? Bisa jadi iya, tapi aku tetap bersyukur karena sepertinya banyak life lesson yang kudapatkan lebih dulu untuk kemudian di tahun besok aku bakal produktif, super produktif kalau bisa, menulis lebih banyak (dan lebih baik). Aku bakal mencoba strategi tulis draf sebanyak mungkin, untuk kemudian di-publish kapanpun aku siap. Kamu mau meniru cara ini? Dengan sangat senang hati silakan, mari produktif bersama :)
Setelah 1000an kata sebelum ini aku ketik, ada perasaan lega yang teramat kurasa dalam hatiku. Aku senang bukan main, karena kurang lebih satu jam aku bisa secepat ini dalam bercerita. Well, nggak bisa diacungi jempol juga kalau isinya ‘kosong’ dan hanya curhat keluhan kayak gini, haha.
Tapi yang pasti, selamat untukmu yang telah berhasil menjalani 2016 ini dengan segala suka-duka cerita-derita yang kamu alami masing-masing. Setidaknya terima kasih untuk kamu yang pernah sempat menghampiri blog usang ini—paling nggak traffic pengunjungku bertambah satu, wkwk. Aku nggak selalu berharap kamu akan suka dengan segala apa yang aku tulis, aku hanya berharap kamu bisa mendapatkan sesuatu yang kubagi disini. Dan maaf nggak pernah bisa memuaskan ekspektasimu jika ternyata kamu sengaja datang ke blogku dari tautan manapun itu atau memang benar-benar tersesat untuk mengisi kenirfaedahanmu.
Selamat menyelesaikan 2016 dengan bahagia, jangan terkejut kalau besok kamu bangun tau-tau udah di tahun yang baru, jangan salah nulis tahun lagi ya, biasanya tahun baru masih sering lupa nulis angka satuan di belakang, masih keukeuh di 2016, move on yuk!
Aku nggak akan kemana-mana, masih disini, besok kayaknya bakal ada cerita lagi. Doakan terus ya supaya kita masih tetap senang menulis. Semoga kamu nggak bosan apalagi enek kalau aku bakal sering nulis, insyaAllah dan amin.
Ciyeeeeeeeeeeeee Cipa ngeblog lagiiiii~
ReplyDeleteHuwaaa... makasih lho Kak Hanifa :D
Delete