Sumber: NET |
Dulu, aku masih terlalu kecil untuk mengenal hal itu. Masih terlalu polos untuk merasakan perasaan sedemikian rupa. Aku sering salah mengambil keputusan akan hal yang memang aku tak mengerti. Sering salah membedakan mana yang baik dan yang buruk bagi diriku sendiri.
Aku sering terjebak dalam ranjau-ranjau yang terlihat seperti indah. Tipu muslihat memang sering memperdaya mata seseorang. Mata yang sering merasakan silau jika melihat cahaya yang membutakan. Mungkin dulu aku merasakannya. Ya, dulu.
Terkadang aku merasa semua yang kulakukan, benar. Tanpa tahu apakah itu memang benar-benar baik untukku. Aku menyerah pada keadaan. Seakan melakukan hal itu, aku bisa terbebas dari beban-beban hidup yang kurasakan saat itu. Namun, Dia berkehendak lain, aku bukanlah seperti itu. Aku bukanlah seorang aku yang lemah. Aku bukanlah seorang aku yang mudah putus asa. Aku menyadarinya.
Lalu apa yang harus kulakukan? Aku tak pernah tahu. Membiarkan diri ini menjadi sosok lain secara sementara memang membuatku tersiksa. Tersiksa akan keadaan yang tak sebenarnya. Aku tak tahu siapa aku saat itu.
Waktu berlalu, aku telah berubah. Aku hanya berubah untuk-Nya, bukan karena kesenangan yang fana. Aku terlalu bodoh memilih orang itu sebagai alasan bahwa aku menjadi seperti aku yang sekarang. Apapula yang harus kujadikan alasan dari dirinya? Adakah? Apa? Dimana? Sekali lagi, dia bukan alasanku seperti ini. Bukan. Bukan dia. Tapi, Dia.
Kini, aku mengerti bagaimana keadaan aku sekarang. Dia memang Maha Baik pada hamba-Nya, tanpa terkecuali. Kini aku paham siapa aku sekarang. Aku bisa memaknai siapa aku yang dulu, yang sejatinya memang bukan diriku.
Dulu, dialah yang menjadi alasanku. Ya, dia. Tapi kini, aku memang tak bisa menyalahkan dia sebagai alasan bahwa karena dialah semua itu terjadi. Tidak, ini memang sudah jalan takdirku, jalan yang harus kuhadapi. Telah tertulis dalam Lauhul Mahfudz bahwa apa yang akan atau telah terjadi padaku ini. Tapi, salahkah jika kini aku membencinya? Membencinya karena dialah yang dulu menjadi alasanku? Iya, aku salah, begitupun dia. Aku salah, kenapa pula aku percaya begitu saja pada dirinya yang sudah jelas bahwa dia memang tak patut dijadikan suatu sebab. Tapi, diapun sama salahnya, kenapa dia melakukan hal itu padaku, menitipkan sebuah asa padaku, lalu pergi, tanpa aku tahu bahwa ia tak kembali. Aaahhh, ambigu!
hmm dik, siapa sih dia? ^_^
ReplyDeleteHmmm...siapa ya? Bukan siapa-siapa kok :D
Delete