KASIH
SAYANG SEPANJANG JALAN
Teman, hampir semua orang berkata anak bungsu adalah anak yang
paling bahagia di dunia. Mereka selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Anak
bungsu, selalu menjadi problem utama si sulung, karena anak bungsu bagaikan ladang
untuk menumpahkan kasih sayang bagi sebagian orangtua. Tapi entah apa
alasannya, hingga orang menyimpulkan seperti itu. Hmm . . . sepertinya simpulan
itu tak berlaku dalam hidupku. Ya, aku salah satu bukti nyata dari kebohongan
orang-orang tersebut. Aku hampir tak pernah merasakan kasih sayang dari orang
tua ku. Aku kasat mata bagi mereka. Mereka menganggapku tak ada!
Aku terlahir sebagai bungsu dari 2
bersaudara. Kakakku laki-laki, sedangkan aku perempuan. Ya, kami memang
berbeda, bahkan dalam segala hal. Kak Tyo, begitu nama panggilannya. Ia tumbuh menjadi
anak yang pintar dan cerdas. Sangat aktif dalam organisasi di kampusnya. Dari
sejak SMA, kak Tyo tak pernah absen dari antrean peringkat 3 besar. Kini dia
belajar di salah satu Universitas Negeri di Bandung. Kuliahnya pun sudah
dibiayai negara. Sedangkan aku, hanya gadis kecil yang masih menggantungkan
hidupku pada orangtua. Prestasiku pun tak secemerlang Kak Tyo, masuk 10 besar
pun rasanya seperti mendapat peringkat pertama. Jadi tak heran jika Kak Tyo
adalah anak yang selalu di elu-elukan orangtuaku. Ia bagaikan emas yang sangat
dijaga oleh pemilik tambangnya. Kasih sayang orangtuaku sepenuhnya tercurahkan
pada seorang pemuda yang bernama Bramantyo Nugraha, yang tak lain ialah Kak Tyo.
Teman, tapi aku sepenuhnya sadar jika
orang tuaku lebih menyayangi Kak Tyo. Aku maklumi jika Bunda selalu memberikan
tas dan sepatu branded pada Kak Tyo.
Aku pun ikut senang ketika Ayah membelikan mobil yang sudah lama diinginkan Kak
Tyo. Tapi kapan aku seperti Kak Tyo? Atau itu tandanya anak Ayah dan Bunda hanya
Kak Tyo seorang? Sungguh, aku tak berharap dibelikan tas dan sepatu branded, juga mobil bagus, tapi aku
hanya ingin kasih sayang dari kalian, kedua orang tua kandungku.
Hingga di hari kelulusan pun orang
tuaku tak memberikan selamat atau semangat yang membuatku termotivasi untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan mungkin orangtua ku
tak mengetahui hari ini adalah hari kelulusan anaknya. Entahlah.
Sekarang aku tumbuh dewasa, aku ingin
kuliah seperti Kak Tyo. Tapi tidak mungkin jika aku merengek ingin kuliah pada
orangtua. Pasti bukan dukungan yang aku dapat, tapi cacian yang akan aku
dengar. Sudah terbayang dibenakku, pasti mereka tak akan mengizinkanku kuliah.
Tidak! Aku tak akan bicara pada Ayah
dan Bunda. Aku akan berusaha sekuat tenagaku, apapun hasilnya aku yakin itu
yang terbaik. Tapi tak ada salahnya jika aku mencoba dan terus mencoba.
Hari ini aku akan mengikuti testing di
sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Bandung. Tentu saja untuk jalur beasiswa,
karena aku tahu orangtuaku takkan bisa membiayaiku hingga ke perguruan tinggi.
Sadar kemampuanku tak seperti Kak Tyo, aku terus belajar hingga larut malam.
Shalat Tahajjud pun tak pernah aku tinggalkan, agar hasilnya lebih maksimal.
Hingga aku selesai mengikuti tes,
orang tuaku tak tahu jika aku berniat melanjutkan ke perguruan tinggi. Tak apa,
aku tahu hal itu, tapi aku yakin mereka selalu berdo’a yang terbaik untukku, semoga
saja.
Sampai akhirnya aku resmi tercatat sebagai mahasiswi
di universitas tersebut, tentunya dengan jalur beasiswa. Senang rasanya,
ternyata aku bisa! Aku mampu!
Kini aku memberanikan diri untuk
bicara pada orang tuaku. Tentu aku sudah mengetahui segala resikonya. Tetapi bagaimana
pun reaksi mereka, yang penting aku sudah memberitahukan ini, agar nantinya aku
bisa lebih terbuka.
“Bunda, Ayah. Maaf aku mengganggu,” ucapku
saat mereka sedang berada diruang tamu rumah.
“Ya, ada apa Ra?” jawab ayah sambil
membaca koran. Sikapnya masih datar seperti dulu. Nyaris tak ada senyum yang
aku temukan darinya.
“Alhamdulillah, berkat do’a Ayah dan
Bunda, Rara bisa masuk di PTN yang Rara pilih, tapi maafkan Rara ya, karena tak
berani untuk mengatakan ini sebelumnya,” aku berusaha keras untuk berbicara. Lidahku
terasa berat ketika aku menyampaikan berita gembira ini.
Ayah menatapku tajam, Bunda pun sama.
Dan sudah dipastikan mereka akan marah besar padaku.
Tapi, ketika aku menundukkan kepalaku
sejenak, tiba-tiba ada seorang yang memelukku dengan hangat. Pelukan yang aku
rindukan sejak dulu. Pelukan yang berusaha ingin menenangkan hatiku.
“Ayah?” rasanya ingin aku menjerit dan menumpahkan
kemarahanku yang telah lama aku pendam.
Tapi sia-sia, aku malah menangis dipelukan Ayah.
“Maafkan Ayah dan Bunda, Nak, walau
selama ini kami terkesan mengacuhkanmu, tapi sebenarnya kami sangat menyayangimu,
sama seperi kasih sayang kami pada Kak Tyo,” Ayah terisak dan berusaha menahan tangisnya.
Sama seperti Ayah, air mata Bunda pun meleleh mengharu biru.
Apa? Ternyata selama ini Ayah dan Bunda
menyayangiku!
Maafkan aku Ayah, Bunda, selama ini
aku sudah berprasangka buruk pada kalian. Kini aku bukan anak kecil lagi, aku
hanya butuh perhatian dan semangat dari kalian agar aku mampu mengahadapi
tantangan dunia.
Post a Comment
Thanks for coming. I am glad you have reading this so far.
♥, acipa