HATI
YANG TERPIATUKAN
Langit
biru tersemaikan awan, nampak begitu pucat tak berseri. Keheningan di tengah
kebisingan suara-suara lembut burung-burung bersiul. Desahan angin
menggoyangkan dedaunan berhembus menelusup ke selaksa tubuh begitu dinginnya
pagi ini menyapa bersama mentari yang tersenyum semu memandangku bermata sayu.
Terbanglah
dihadapanku burung-burung itu, dari udara terlihat kebahagiaan dibalik kepakan sayap. Inginku terbang
bersama mereka, namun yang nyata hanya harapan semu. Sayapku patah untuk
menembus cakrawala. Jangankan untuk terbang ku kepakan pun sakit, dan tersentuh
angin pun perih yang begitu maha dahsyatnya. Begitu parah luka akan sayapku
yang patah.
Bak
mentari pagi bersinar pucat diantara keheningan. Dari balik sinarnya aku terduduk
menatap ilalang yang menggoyangkan tubuhnya becandakan ria bersama
burung-burung. Tersemai dalam benakku bayangan masa lalu mengisi kekosongan
sudut mata. Tampak gelisah jiwa ditengah kesendirian. Hanya air mata yang
menemaniku dari balik kelukaan hati. Terbitlah sebuah kesakitan, kekecewaan dan
kebencian yang tak berujung. Ku tarik dalam-dalam nafas, ku hempas secara
perlahan. Menahan kesesakan di dalam dada.
“Huft . .
.” lirih sanubariku, berbisik mendesah.
Tuhan,
tak mampu untuk ku ingkari lagi. Aku menangis merasakan kesakitanku yang tak
ingin kehilangannya. Dosakah diriku yang belum mampu melepaskannya, hinakah
jiwaku yang selalu mengemis kehadirannya disisiku. Kini aku telah dipiatukan
oleh kekejaman hatinya.
Bimbinglah
aku. Agar aku senantiasa ikhlas untuk melepaskan semua tentangnya. Aku sungguh
tak sanggup bila harus terus menahan kesakitan ini yang tak pernah berujung
menemani kegelisahan hidupku selama ini.
Kebahagiaanku
terenggut, masa-masa yang indah itu telah hilang. Hanya kepedihan dan air mata
temaniku selama ini. Hari-hariku terisikan kebimbangan hati. Antara melangkah
atau mundur, antara menangis atau tersenyum, tersendu atau tertawa, melupakan
atau memeluknya. Sungguh tak terkira dengan apa yang kurasa saat ini. Semua
begitu gelap, tak tampak sinar mentari itu menyapaku lagi.
Tuhan,
bagaimana bisa aku harus selalu seperti ini? Menangisi, menangisi, dan menangisi kepergiannya. Hanya air mata, air mata,
dan air mata yang menyapaku setiap waktu kala aku terbangun dari tidurku
ataupun kala aku tertidur di kesunyian malam.
Tak bisa
ku ingkari aku selalu sayang dia. Tak mampu aku pergi dan lepaskan semua
tentangnya. Diantara keramaian pun aku hanya termenung sendiri menatap langit
biru tersemaikan awan.
“Belajarlah
untuk menikmati indahnya hidup mulai sekarang, sebelum satu hal datang padamu –kesepian-“
-AHS-
Post a Comment
Thanks for coming. I am glad you have reading this so far.
♥, acipa