Beberapa orang menyadari bahwa semua manusia lahir dalam keadaan yang sama; putih, suci, bersih. Namun, berbagai situasi dan kondisi yang menyertai selama hidupnya membuat kita tumbuh menjadi manusia yang berlainan. Tak lagi bisa disamakan satu dengan yang lainnya.
Nggak kok, aku nggak lagi bahas soal adanya banyak ragam perbedaan antar umat manusia.
Hal yang sama belakangan mengusikku. Kadang suka tiba-tiba kepikiran aja, sekadar untuk mengingat seseorang yang belum lama ini kenalan, lalu iseng untuk tau gimana kabarnya sekarang, dan menyesal udah coba stalking ke akun sosial medianya *gadeng, becanda*
Orang yang tiba-tiba mampir di pikiran kita jadi yang paling bikin cemburu atas segala pencapaiannya sekarang ini. Kakak tingkat itu sekarang udah di Jepang buat student exchange, temen di kampus tau-tau ngabisin liburan musim panasnya buat jadi delegasi ke Eropa, si doi didanai lembaga tertentu buat ngembangin prototipe alat bikinannya, yang lain sukses bertempur di ajang olimpiade yang diikutinya, dan ada banyak kejadian mengharukan dari orang-orang yang dekat dengan keseharianku.
Lalu aku merasa jadi buih di lautan, buih jomblo yang nggak berdampak untuk peradaban *apa sih* Aku berpikir, "ah mereka kayak gitu kan karena bisa begini", "iyalah mereka kan pinter banget", "gak usah ditanya lah, mereka kan punya uang banyak", dan berbagai kelebat lainnya yang sesekali mengganggu.
Dan kemudian, suatu perkataan mengusikku.
"Lo kok gak bersyukur banget sih cip? Coba dilihat orang lain gimana keadaannya, lo tuh jauh lebih beruntung dari mereka, bahkan mungkin aja seseorang berharap ada di posisi lo ini. Coba dipikir lagi!"
Kadang emang perlu batu dulu kali ya biar kita kesandung, atau perlu sedikit tamparan halus biar kita ngerasain sakitnya di pipi
Padahal, bisa jadi, di belahan bumi lainnya atau seminimalnya orang di sebelah kita, juga ngiriin kelebihan-kelebihan yang udah kita punya. Mereka iri karena kita udah di posisi sekarang ini, mereka iri karena kita udah kemana aja, mereka iri karena kita udah banyak ngelakuin apa aja, dan mereka iri kalo seandainya kita bisa dapet hadiahan yang cuma gratisan aja #trueaf.
Sumber: snapgram @banibuzz |
Kita nggak bisa kalau terus-terusan berpikiran kayak gitu kan? Capek juga, dan nggak adil kalau menilai orang-orang hebat itu dengan perasaan nggak baik yang muncul dari dalam diri kita ini. Sebab setiap orang, mereka bekerja keras semaksimal mungkin. Mengutip kata-kata Gitasav di postingannya, "Ada usaha yang teramat keras di sana, yang nggak dia tunjukkan kepada gue, yang nggak dia tunjukkan di dunia maya. Ada berpuluh-puluh malam dilewatinya tanpa tidur, yang nggak dia share di lini masa Instagram-nya. Orang-orang lain termasuk gue, hanya melihat hasilnya. Hanya melihat hasil dari usaha kerasnya, tanpa mengetahui seberapa berat beban yang harus dipikulnya. Hanya melihat hasil dari jerih payahnya."
Dan sekarang selain urgensi bersyukur tadi, semoga kita jadi orang yang mau belajar dari kerja keras orang lain, nggak sekadar uring-uringan nggak jelas mempertanyakan soal pencapaian-pencapaian mereka. Belajar lebih sungguh-sungguh, supaya bisa sama kayak mereka, atau lebih tepatnya lebih dari apa yang mereka capai. Daripada harus membanding-bandingkan diri kita sama orang lain, yang nggak akan berdampak apa-apa karena kita cuma capek ngelakuin hal yang nirfaedah dan nggak berkontribusi untuk masa depan diri sendiri.
"Menurutmu hidup itu apa?""Bagiku hidup itu pencapaian.""Kasihan sekali hidupmu dibebani seperti itu. Apa kamu tidak merasa frustrasi?""Kenapa harus frustrasi?""Karena kita ini manusia, bukan robot.""Banyak manusia yang keliru memaknai hidupnya, tapi lebih banyak lagi yang menjalaninya tanpa makna. Hanya sedikit orang yang paham mengapa dan untuk apa dia hidup."- Cuplikan novel Scappa per Amore karya Dini Fitria, halaman 211 - 212
Sebagai konklusi, masih seperti kata Gitasav, semoga kita nggak termasuk manusia paling sialan sedunia, yaitu manusia yang sudah diberi banyak berkah tapi masih bisa mencari apa yang bisa dikeluhkan.
Acipa
Pernah mba. Saya pernah ngerasa kayak gitu. Waktu awal2 jadi ibu rumah tangga. Sebenernya bukan iri sih tapi lebih ke minder k wanita karier di luar sana. Mereka pagi2 udah cantik, sedangkan aq bagaikan upik abu di rumah. Yang boro2 mau cantik. Bisa mandi aja udh syukur. Tetapi, sebenernya betapa banyak juga wanita karier yang terpaksa harus bkrja meninggalkan anak di rumah, sedih berangkat kerja dengan diiringi tangisan anaknya. Yah kita kita terkadang suka lupa mensyukuri keadaan kita, ya ��
ReplyDeleteNah iya, barangkali memang harus banyak bersyukur atas segala pencapaian. Nggak cuma ngerasa iri, tapi juga berusaha lebih baik lagi :D
Deletengeblognya dibawa santai aja, mba. Kalau aku lebih suka berpendapat hoo... itu rejekinya dia. Toh pintu rejeki ngga cuma dari ngeblog doang kan.
ReplyDeleteSoalnya berdasarkan pengalaman, giliran ngarep rejeki dari blog, ngga dapet2. Tapi giliran ngga ngarep, datanglah rejeki dari blog secara bertubi tubi.
Wahahaha, ini nggak cuma soal ngeblog aja kok, sebab soal kehidupan jauh lebih kompleks hehe :D
DeleteThankies for sharing ya mba, kadang aku juga gitu kok setelah baca ini kumau makin rendah hati, pamer karya prestasi is better lah ya;) untuk motivasi tentunya^^
ReplyDeleteSama-sama Mbak, semoga rasa cemburu tetap ada, kalau itu bisa bikin kita berusaha jadi lebih baik ya :)
DeleteUdah kodratnya kali ya ada rasa iri dalam setiap manusia tapi tergantung individunya untuk menyikapi seperti apa ^^
ReplyDeleteYap, penting untuk tau ngemanfaatinnya dengan baik aja, hehe :D
DeleteCipa aku suka banget sama tulisannya ngalir banget, betul cipa lebih baik belajar untuk mencapai sesuatu atau lebih dari mereka. Pergunakan iri seperlunya saja Cipa, jika tidak iri berarti gak ada motivasi dong Cipa
ReplyDeleteAlhamdulillah, makasih Mbak :D
DeleteNah iya, iri sama yang lebih baik bakal jadi salah satu sumber motivasi untuk makin lebih baik juga :)