Assalammu'alaikum...
Selamat pagi Abah, apa kabarnya? Ah iya, padahal baru kemarin malam kita bertiga mengobrol via telepon, bareng Mamah yang saat itu serasa kita memang saling bertatap muka.
Selamat pagi Abah, apa kabarnya? Ah iya, padahal baru kemarin malam kita bertiga mengobrol via telepon, bareng Mamah yang saat itu serasa kita memang saling bertatap muka.
Lima hari yang lalu, tepat 10 Juni, Abah makin menua ya, tambah umur jadi 43 tahun. Selamat menua, sebagai anak aku hanya bisa mengucapkan terimakasih sudah mau menjadi ayah dari aku dan Ikmal, terimakasih sudah mau menjadi ayah yang paling terbaik untuk kami berdua.
Nggak banyak yang bisa aku kasih, nggak seperti teman-temanku kebanyakkan kalau mereka merayakan hari ulang tahun orangtuanya. Kadang, aku merutuki diriku sendiri, kenapa nggak bisa sekadar membeli kue ulang tahun atau mungkin sebuah kado berisi sepatu dan lainnya. Tapi aku lebih malu lagi kalau aku cuma bisa tulis surat ini. Dan hari ini, yang katanya menjadi Hari Ayah, aku juga sama nggak bisa apa-apanya selain menulis surat yang kutulis di blog. Andai Abah tahu, mungkin aku merasa geli sendiri kalau seandainya Abah memang membaca tulisan ini.
14 tahun selama aku hidup ini, entah sudah berapa banyak perjuangan yang Abah dan Mamah lakukan untuk aku--khususnya, dan juga Ikmal. Banyak orang bilang, anak perempuan biasanya lebih dekat dengan ayah, sedangkan anak laki-laki biasanya lebih dekat dengan ibu. Dalam keluarga kita, bisa jadi itu benar, bahkan golongan darah kita sama kan? Sama-sama AB, hehe. Sayangnya, aku punya tabiat yang pasti berlawanan sama Abah, iya kan? Semakin hari, aku tuh semakin jadi pembangkang, kadang lama-lama kesal juga karena keinginanku nggak pernah ada yang diturutin.
"Kalau memang itu yang terbaik dan bisa bikin senang kamu, Abah usahain kok, cari tambahan ke teman-teman Abah, tunda sebentar dulu keinginannya." Abah pasti selalu bilang gitu buat nenangin aku, tapi saking manjanya, kadang aku merajuk sendiri, ingin cepat-cepat keinginan itu terkabul.
Beberapa hari yang lalu, aku baru mengatakan sama Abah kalau aku ikut suatu acara yang mengharuskan adanya bayaran administrasi. Aku tahu Abah pasti kaget, karena memang sebelumnya aku nggak izin sama siapa pun termasuk Mamah, aku nekat. Dan apa yang terjadi? Dugaan aku benar, Abah nggak bisa memenuhi keinginan aku itu dan menggagalkan keinginan dari semenjak beberapa tahun yang lalu. Kalau boleh jujur, aku kecewa, baru kali ini mimpi terbesarku gagal, hanya karena Abah nggak mau bantu aku bayar administrasinya. Bukannya Abah selalu bilang, kalau memang hal positif dan ini baik buat aku, Abah pasti mengusahakannya? Kenapa sekarang nggak? Kenapa di saat mimpi aku untuk menjadi kebanggaan orangtua, keluarga, sekolah, bahkan provinsi, Abah nggak bisa? Aku kecewa.
Tapi lagi-lagi, Abah dengan tenangnya menasihati aku lagi, walaupun aku harus kecewa dan gagal, aku jadi sadar, aku lebih bangga punya bapak kayak Abah. Abah memang nggak kaya dengan uang seperti papa temanku, Abah memang nggak selalu bisa dekat dengan aku tiap hari, tapi lebih dari semua itu, aku selalu bangga sama Abah. Di saat orang lain memanggil sebutan 'bapak' mereka dengan panggilan yang menurutku keren, semacam Papa atau Dad, sederhananya aku memanggil 'bapakku' dengan Abah.
Aku tahu, Abah nggak selalu bisa menuruti semua keinginan-keinginan aku yang terlalu banyak. Walau dalam beberapa waktu, aku sering merasa iri dengan temanku yang semua keinginannya selalu dikabulkan, seolah-olah dengan begitu mereka senang, tapi kali ini nggak. Abah baik, karena ingin aku lebih mandiri dan nggak tergantung sama semua hal yang harus dikabulkan dalam waktu cepat dan cara yang instan, aku harus bekerja dan berjuang terhadap apapun yang aku mau. Iya, Abah mengajarkanku arti pengorbanan dari sebuah hasil, yang belum tentu didapatkan teman-temanku yang lainnya.
Abah, terimakasih, terimakasih sudah menjadi laki-laki terhebat di dunia ini, terimakasih sudah menjadi orangtua terpandai di dunia ini, terimakasih sudah menjadi ayah dari seorang anak macam aku, dan terimakasih untuk semuanya. I can't thank you enough ({})
Salam,
Icha, anak pertama yang sudah tumbuh remaja
Nggak banyak yang bisa aku kasih, nggak seperti teman-temanku kebanyakkan kalau mereka merayakan hari ulang tahun orangtuanya. Kadang, aku merutuki diriku sendiri, kenapa nggak bisa sekadar membeli kue ulang tahun atau mungkin sebuah kado berisi sepatu dan lainnya. Tapi aku lebih malu lagi kalau aku cuma bisa tulis surat ini. Dan hari ini, yang katanya menjadi Hari Ayah, aku juga sama nggak bisa apa-apanya selain menulis surat yang kutulis di blog. Andai Abah tahu, mungkin aku merasa geli sendiri kalau seandainya Abah memang membaca tulisan ini.
14 tahun selama aku hidup ini, entah sudah berapa banyak perjuangan yang Abah dan Mamah lakukan untuk aku--khususnya, dan juga Ikmal. Banyak orang bilang, anak perempuan biasanya lebih dekat dengan ayah, sedangkan anak laki-laki biasanya lebih dekat dengan ibu. Dalam keluarga kita, bisa jadi itu benar, bahkan golongan darah kita sama kan? Sama-sama AB, hehe. Sayangnya, aku punya tabiat yang pasti berlawanan sama Abah, iya kan? Semakin hari, aku tuh semakin jadi pembangkang, kadang lama-lama kesal juga karena keinginanku nggak pernah ada yang diturutin.
"Kalau memang itu yang terbaik dan bisa bikin senang kamu, Abah usahain kok, cari tambahan ke teman-teman Abah, tunda sebentar dulu keinginannya." Abah pasti selalu bilang gitu buat nenangin aku, tapi saking manjanya, kadang aku merajuk sendiri, ingin cepat-cepat keinginan itu terkabul.
Beberapa hari yang lalu, aku baru mengatakan sama Abah kalau aku ikut suatu acara yang mengharuskan adanya bayaran administrasi. Aku tahu Abah pasti kaget, karena memang sebelumnya aku nggak izin sama siapa pun termasuk Mamah, aku nekat. Dan apa yang terjadi? Dugaan aku benar, Abah nggak bisa memenuhi keinginan aku itu dan menggagalkan keinginan dari semenjak beberapa tahun yang lalu. Kalau boleh jujur, aku kecewa, baru kali ini mimpi terbesarku gagal, hanya karena Abah nggak mau bantu aku bayar administrasinya. Bukannya Abah selalu bilang, kalau memang hal positif dan ini baik buat aku, Abah pasti mengusahakannya? Kenapa sekarang nggak? Kenapa di saat mimpi aku untuk menjadi kebanggaan orangtua, keluarga, sekolah, bahkan provinsi, Abah nggak bisa? Aku kecewa.
Tapi lagi-lagi, Abah dengan tenangnya menasihati aku lagi, walaupun aku harus kecewa dan gagal, aku jadi sadar, aku lebih bangga punya bapak kayak Abah. Abah memang nggak kaya dengan uang seperti papa temanku, Abah memang nggak selalu bisa dekat dengan aku tiap hari, tapi lebih dari semua itu, aku selalu bangga sama Abah. Di saat orang lain memanggil sebutan 'bapak' mereka dengan panggilan yang menurutku keren, semacam Papa atau Dad, sederhananya aku memanggil 'bapakku' dengan Abah.
Aku tahu, Abah nggak selalu bisa menuruti semua keinginan-keinginan aku yang terlalu banyak. Walau dalam beberapa waktu, aku sering merasa iri dengan temanku yang semua keinginannya selalu dikabulkan, seolah-olah dengan begitu mereka senang, tapi kali ini nggak. Abah baik, karena ingin aku lebih mandiri dan nggak tergantung sama semua hal yang harus dikabulkan dalam waktu cepat dan cara yang instan, aku harus bekerja dan berjuang terhadap apapun yang aku mau. Iya, Abah mengajarkanku arti pengorbanan dari sebuah hasil, yang belum tentu didapatkan teman-temanku yang lainnya.
Abah, terimakasih, terimakasih sudah menjadi laki-laki terhebat di dunia ini, terimakasih sudah menjadi orangtua terpandai di dunia ini, terimakasih sudah menjadi ayah dari seorang anak macam aku, dan terimakasih untuk semuanya. I can't thank you enough ({})
Salam,
Icha, anak pertama yang sudah tumbuh remaja
titip salam untuk abah, semoga senantiasa diberi rezki yg berlimpah n kesehatan :)
ReplyDelete