Selamat malam... Jam segini tuh sebenarnya waktu yang paling
nikmat banget, bersyukur dikasih waktu bisa ikutin pergantian hari, dan menyepi
di tengah heningnya malam... Santai...
Berbicara tentang nikmat syukur, sebenarnya hal ternikmat
apa yang pernah kamu dapat dari Tuhan? Pasti banyak kan. Salah satu yang harus
disyukuri adalah, nikmat hidup.
Sebelum lebih lanjut, Syifa mau tanya, sebenarnya untuk apa sih kita hidup?
Untuk bernafas? Untuk jadi manusia? Untuk terkenal? Untuk tahu dunia? Untuk
mati? Atau untuk surga? Ayo jawab!! Bagaimana mungkin kamu bisa
tahu tujuan hidup, kalau kamu sendiri nggak tahu untuk apa kamu hidup.
Ada orang yang hidupnya nyaman, ada juga yang sengsara. Ada
orang yang hidupnya bebas, ada juga yang terkekang. Ada orang yang hidupnya
menyenangkan, ada juga yang menyedihkan. Ada orang yang ingin hidup lebih lama,
eh ada juga yang ingin cepet mati aja.
Terus kenapa?
Hidup-hidup gue, masalah buat lo?
Menyedihkan memang kalau ada orang yang berpikiran bahwa
hidup adalah miliknya seorang. Baca deh cerita Syifa ini, entah menginspirasi
atau tidak, tapi Syifa yakin, selalu ada kesempatan untuk membaca sebagian
kisah hidup seseorang.
***
Ini terjadi beberapa bulan
yang lalu. Masalah sepele yang mungkin akan berujung dengan masalah raksasa
*oke ini lebay*. Saat itu, aku lagi dalam masa-masa dilemanya. Tenang, bukan karena
dilema ala Ceribel kok. Memilih antara harus keluar OSIS atau nggak. Itu yang
jadi masalahnya.
Pertama, aku disuruh
keluar sama Mamah, gegara kegiatannya yang menyita waktu, bahkan pulang sampai
malam. Sebagai orangtua, siapa sih yang nggak khawatir? Cuma orangtua yang
nggak berperi-kemanusiaan lah yang nggak khawatir dan cuek bebek sama anaknya.
Mamah sering bilang, “Kamu itu anak
perempuan, Cha. Apa kata orang kalau pulang pas Maghrib, bisa aja kan mereka
berpikiran lain. Hati orang yang siapa yang tau?” Iya, aku anak perempuan,
dan aku masih kecil, masih banyak takutnya. Pulang pun nggak ada yang jemput,
kecuali tukang ojek di perempatan yang beruntungnya masih ada pas aku mau pulang
ke rumah. Udah berkali-kali aku melakukan hal yang sama, pulang melewati jam 5
sore. Sebagai seorang pelajar, bisa dimungkinkan kalau sekarang pulang jam 3
masih dikategorikan wajar, tapi Mamah aku punya batasan waktu tertentu sendiri.
Intinya, aku pulang harus kurang dari jam 5, lebih dari itu, taulah akibatnya.
Mamah adalah orang yang
tegas dan keras. Mungkin, bagi beberapa teman, mereka menganggap kalau hubungan
aku harmonis banget, dengan dimanjain dan dipenuhi segala kebutuhannya. Aku
tegaskan, nggak. Perlu perjuangan untuk itu. Mamah yang tegas, dia nggak akan
sungkan untuk bentak, teriak, bahkan pakai ‘kontak fisik’ ke aku kalau aku salah.
Ingat ya, kalau aku salah. Mamah yang keras, baginya segala ketentuannya adalah
yang terbaik. Iya, jujur, maksudnya baik untuk aku sama adik aku, walau mungkin
orang memandang ini berlebihan. Terlalu memaksa ‘kan? Tapi menurutku nggak.
Pernah berpikir, kenapa sih punya orangtua segininya banget?
Rasanya nggak bebas gitu, terikat dengan aturan-aturan ribetnya. Pernah
berharap punya orangtua kayak temen-temen lainnya, yang ngebebasin anaknya dan
nggak marah-marah walau pulang agak telat. Pernah berharap gitu, pernah.
Tapi..., kemudian berpikir, Mamah adalah ibu paling perhatian, ibu yang paling
punya kasih sayang, ibu yang paling cemas, dan ibu yang paling khawatir sama
anaknya kalau sesuatu terjadi. Mamah adalah ibu terbaik yang pernah Allah kasih
untuk aku sama adik aku selamanya, selamanya~
Kedua, aku diminta
bertahan sama kakak-kakak kelas pengurus OSIS lainnya. Awalnya, aku nggak diterima
untuk pertama kalinya, katanya sih, ada sikap aku yang nggak sopan, yakni...
tau apa? Jarang nyapa. Oke, entah
aku yang salah padahal udah mati gaya senyum, entah kakak kelasnya yang gila
hormat, entahlah. Jadi nih, aku bisa masuk OSIS karena saat itu menggantikan
posisi Rezma yang mengundurkan diri di awal karena dia punya penyakit yang
cukup memberatkan, aku diusahakan sama A Ramdan, calon yang sekarang udah jadi
Ketua OSIS. Singkat cerita, aku dilantik dan disumpah saat itu. Tapi..., semakin
berjalannya waktu, aku nggak nyaman di posisi ini. I think it’s my comfort zone, but it’s big wrong. Ada beberapa hal
yang terlalu didramatisir menurutku, dan aku benar-benar nggak nyaman, nyita
waktu lah, tugas jadi keteteran lah, dan masalah-masalah lainnya (kalau capek
sih wajar ya).
Saat itu, A Ramdan
meyakinkan Mamah kalau dengan ini, bakal punya manfaat ke depannya, kita jadi
punya wawasan kepemimpinan, kedisiplinan, dan kekompakan. Tapi, Mamah menolak,
tetap pada prinsipnya, jangan sampai anaknya terlalu sibuk dan kecapekan lantas
tugasnya di sekolah sebagai seorang pelajar nggak dilaksanakan dengan baik
karena terganggu.
Masalah yang mendera
adalah..., Mamah sering memakai ‘kontak fisik’ kalau aku pulang lewat batas
waktu karena terlalu sibuk. Juga, kakak kelas yang terlalu sinis karena aku
jadi rada ‘beda’. Ini masalah kecil, tapi mungkin kamu nggak tau gimana keadaan
aku saat itu, nggak ada orang yang bener-bener bisa bantu. Teman-teman di kelas
terlalu sulit memahami aku, keluarga di rumah terlalu berpihak sama Mamah,
kakak kelas yang agak menjauh semenjak itu. Lantas ke siapa lagi?
Aku terlalu dangkal,
saking takutnya salah mengambil keputusan dan nggak ada orang yang bisa paham
sama keadaan aku saat itu. Saking takutnya Mamah lebih marah sama aku, saking
takutnya kakak kelas ngejauhin aku, saking takutnya teman-teman sinis ke aku,
aku terlalu berpikiran dangkal. Aku pengen mengakhiri semuanya aja. Iya, bunuh
diri. Epic kan guys? Epic bingits...
Anak kelas 10 SMA yang
masih jadi remaja awal aja udah berpikiran ‘gila’ gitu. Saking terlalu takut,
sekali lagi, saking terlalu takut. Aku berpikir saat itu, hidup hanyalah
masalah yang diminta untuk kita selesaikan. Tapi ada kalanya masalah yang akan
mungkin selesai.
Mungkinkah saat itu Syifa
mengingat-Nya? Jujur, nggak. Kalau saja ingat bahwa semua takdir adalah kehendak-Nya,
nggak akan mungkin terlintas pikiran negatif itu. Mengakhiri semuanya dengan
cara demikian, mungkin (saat itu) terdengar lebih baik daripada harus
menghadapi masalah sepele yang nggak bisa diselesaikan sendiri. Tapi apa?
Setelah semuanya, akankah berakhir begitu saja? Tentu nggak, bahkan mungkin
akan lebih banyak lagi masalah yang timbul karena ‘pikiran dangkal nan negatif’
seorang anak berumur 14 tahun.
Hidup kita adalah milik
kita. Salah, aku menyadari bahwa hidupku bukan hanya milikku seorang. Ini
kepunyaan-Nya, aku hidup untuk-Nya, bersama-sama dengan orang-orang yang
ditakdirkan oleh-Nya untuk mengisi setiap jengkal kehidupan ini.
Sekarang, untuk apa membuang pemberian-Nya ini? Segitu
gampangnya kah melemparkan nyawa untuk meninggalkan kehidupan di dunia ini? Meskipun
mungkin, dari sudut pandang mereka, hidup sudah ‘terasa’ tidak gampang lagi.
Tapi tetap saja, buat kita yang tidak mempertimbangkan bunuh diri sebagai
pilihan hidup, akan susah memandang hidup dengan cara yang sama seperti cara
orang yang melakukan bunuh diri itu memandang hidup.
Ini adalah hal yang dilakukan atas dasar simpati dan
empati atas perubahan perkembangan anak-anak muda generasi baru Indonesia yang
sudah kurang menghargai hidup yang mereka miliki. Suatu bentuk penolakan pada
pembodohan generasi muda pada citra galau yang berkepanjangan. Suatu bentuk
penguatan diri kepada mereka yang merasa sendiri, dan ditinggalkan. Suatu
bentuk inspirasi mengenai betapa berharganya setiap manusia dengan nyawa yang
mereka miliki. Suatu bentuk penghargaan pada sebuah nyawa dan peneguhan
mengenai prinsip hidup yang luar biasa. Hidup adalah milikmu dan milik-Nya, sangat berharga.
Kamu hanya belum menyadarinya. Orang-orang sekitar kamu mungkin belum menyadari
kalau kamu tidak menyadarinya.
wow..
ReplyDeletesaya jg pernah ngalamin ky gt.. tp ga sampe pengen bunuh diri sih hihihi..
ibu saya nyuruh saya berhenti ikut ekskul tari krn mnurut beliau kegiatan itu mengganggu sekolah.. tp saya buktiin aja, meskipun sering ijin ga masuk kelas dan pulang pagi (iya kalau detik2 menjelang kompetisi tari bukan pulang malam lg tp pagi hihihi) prestasi saya di sekolah bisa tetap bagus :)
Aku terlalu dangkal berarti ya x_x
DeleteTapi aku bener-bener nggak bisa fokus juga kalau sama OSIS sih :D
Sabar ya
ReplyDelete