Bali
Untuk Kembali
Kakiku
masih saja melangkah ketika matahari sudah menuju arah barat. Daganganku belum
banyak laku terjual, masih banyak godoh
gedang yang harus kujual. Ibu terlalu tua untuk bekerja seperti ini,
kakinya sudah rapuh dengan segala masalah yang ia tanggung sendiri. Aku sudah
putus sekolah sejak SMA dan berusaha membantu ibu dengan berjualan godoh
gedang dan kacang asin di sekitar Pantai Kuta ini.
Aku melangkah lagi, menapaki
setiap kehidupan dengan mencoba bersabar. Aku tahu, janji-Nya takkan pernah
ingkar.
Di tengah sinar matahari yang
mulai tenggelam, aku berhenti di sebuah kelompok wisatawan dari luar kota yang
sepertinya dari Jakarta. Mereka memanggilku, dan bertanya apa yang aku jual.
Aku menjawabnya dengan ramah agar mereka tertarik untuk membeli.
“30
ribu dapat berapa?” sebuah suara lelaki yang paling dekat denganku bertanya.
Aku menghitung jumlah godoh gedang
dan kacang asin yang aku bawa.
“Semuanya,
Bli,” aku menjawabnya. Dia
mengeluarkan selembar uang 50 ribu dan memberikannya kepadaku. “Semuanya yah,”
senyum terbentuk di bibirnya. Aku sempat menyelami senyum tersebut, namun aku
segera membungkuskan semua daganganku ke dalam plastik.
“Matur suksma,” aku memberikan senyumku
dan lantas pergi dari tempat itu sebelum aku melirik pada wajahnya.
Keesokan
harinya, aku kembali ke dalam aktivitasku seperti biasa, menjual godoh gedang di Pantai Kuta. Hari ini,
satu alasan yang berbeda yang membuatku semangat kembali kesana. Ya. Karena
dia, lelaki yang memberikan senyumannya kemarin. Wajah lelaki itu membayangi
mimpiku tadi malam. Tapi… Aku terlalu berkhayal tinggi, nampaknya. Menurutku,
cinta itu tidak mungkin menjamah orang sepertiku, apalagi cinta pada pandangan
pertama.
Setelah
sampai, aku duduk di sebuah akar pohon dekat pantai sambil mencoba menghirup
aroma air laut yang khas. Ternyata masih terlalu pagi, pantai ini masih kosong
dengan pasir pantai yang berwarna putih gading bersih. Sinar matahari yang
malu-malu menampakkan sinarnya menembus beberapa helai pohon kelapa yang
seperti enggan diganggu oleh angin. Aku mengagumi pulau ini, kota ini,
kota yang memberikan aku air untuk hidup, tanah yang aku pijak untuk mengawali
hari seperti pagi ini.
Beberapa
menit kemudian, mulai banyak orang yang berdatangan. Aku siap akan hari ini,
bagaimanapun keadaannya.
Dari
kejauhan, tampak ada serombongan lagi orang yang datang ke pesisir selatan
Denpasar ini. Aku berusaha mengamati siluet wajah para wisatawan itu dari sini.
Dan tiba-tiba saja mataku terkunci pada satu wajah, aku sadar akan hal itu,
tapi bukannya berpaling, aku justru menikmati keindahan dari setiap lekukan
wajahnya, matanya yang tajam dan menyimpan sesuatu, bibirnya yang tersenyum
akan pemandangan di hadapannya. Aku mulai mengaguminya dalam diam.
Sebelum
ia dan teman-temannya sampai, aku bergegas bangun dan bersembunyi di balik
sebuah pondok yang menyuguhkan beberapa makanan khas Bali lain. Aku mengamati
dia yang tersembunyi oleh beberapa orang temannya. Tiba-tiba saja bibirku
membentuk segaris senyuman. Oh Tuhan, apa-apaan ini? Aku membalikkan badan dan
berusaha menenangkan diri. Aku merasa tubuhku lemas dan jantungku seakan ingin
melompat keluar untuk mengejar laki-laki itu. Aku rasa memang ada yang salah
dengan diriku hari ini.
“Mba, godoh gedang dan kacang asin-nya masih ada?” sebuah suara dari balik pundak
mengagetkanku, tapi seolah aku sudah merekam setiap frekuensi suaranya, aku
tahu siapa yang yang berbicara denganku kali ini. Dan aku masih terpaku ketika
dia melangkahkan kakinya ke hadapanku dan menatapku sambil tersenyum seperti
kemarin. Ya Tuhan, makhluk apa dia? Terlalu indah untuk dikategorikan sebagai
manusia, namun terlalu nyata bila dikategorikan sebagai malaikat. Dia melirik
ke keranjang yang aku bawa, dan melihat bahwa daganganku masih penuh. Aku
kembali tersadar dan berusaha memahami situasi yang tak terduga seperti ini.
“Ada, Bli,” jawabku gugup. Bodoh sekali, mana
pernah aku seperti ini sebelumnya? Aku merasa benar-benar tidak enak badan.
“Ayo
ikut saya, godoh gedang-mu yang
kemarin enak sekali. Aku tadi mencari disana tapi tidak ada yang menjual lagi
selain....,” dia melihat ke arahku seperti menanyakan nama, tapi sebelum
menjawab aku masih sempat tenggelam di matanya yang hitam.
“Wida,”
aku menjawab pertanyaannya sambil mengikuti arah lelaki itu membawaku. Dia
membawaku ke sebuah tenda yang penuh sesak dengan teman-temannya seperti
kemarin.
“Hey,
lapar ‘kan ? Nih gue bawa penjualnya langsung kesini!” Dia sedikit berteriak
memanggil teman-temannya. Untuk beberapa saat aku terlalu sibuk memberi
beberapa bungkus godoh gedang dan kacang asin, namun dia tetap berada di
sampingku, tidak pergi.
“Kenapa
kamu berjualan seperti ini?” Dia kembali bertanya setalah semua daganganku
habis tak bersisa. Aku menundukkan kepala setiap kali mendengarnya. Terlalu
sering aku dilontarkan pertanyaan seperti ini. Dan aku sudah hafal apa yang
harus aku jawab.
“Ekonomi,”
aku menjawabnya. Dia hanya menatapku diam. Aku tak habis pikir, apa yang dia
inginkan? Apakah hidupku penting untuk dia ketahui? Aku memikirkannya terlalu
jauh, terlalu berangan-angan. Barang kali dia bertanya karena merasa kasihan
padaku, seorang gadis lusuh dari selatan Bali. Setiap pagi harus berjalan
menjajakan dagangan hanya untuk menghidupi dia dan ibunya.
“Ikut
aku,” dia menarik tanganku yang masih memegang keranjang. Aku berusaha
mengikuti langkahnya dengan gontai. Kepalaku pening karena mendapat sentuhan
mendadak dari tangan yang bahkan tidak aku ketahui siapa namanya. Dia berbalik
arah, melewati beberapa pondok dan penginapan, dia bergegas mengajakku untuk
mengikutinya.
Disini,
yang terlihat hanyalah batu karang sisa-sisa zaman prasejarah, air laut yang
biru, cahaya kekuningan, aku dan dia. Aku berusaha untuk tidak lupa bagaimana
caranya menarik nafas, berusaha mengingat bagaimana caranya mengedipkan mata
setiap kali bertemu dengan wajahnya yang tegas namun misterius. Dia menyuruhku
duduk di atas sebuah perahu nelayan yang sepertinya sudah rusak dimakan waktu.
Aku langsung menurutinya.
“Namaku,
Sandhy,” aku menoleh ke arahnya yang kini sedang menatap laut tak berujung.
“Aku besar di kota metropolitan yang sesak dengan manusia. Yang penuh dengan
aktivitas dan keegoisan. Aku memutuskan untuk berlibur ke Denpasar karena ini
adalah kota kelahiranku.” Aku berusaha mencari-cari makna dari apa yang telah
dia katakan, namun matanya tidak mengisyaratkan apapun, terlalu tertutup untuk
orang luar sepertiku.
“Aku
tidak pernah tahu kehidupan disini seperti apa, aku selalu diberi kemewahan
sejak kecil. Ketika aku betemu kamu kemarin, seorang gadis cantik yang terlihat
sangat lelah untuk menjajakan dagangannya pada wisatawan lokal disini, aku
mulai mengerti perbedaan. Perbedaan tentang memandang hidup, tentang bagaimana
kita berusaha.”
Aku
masih terdiam mendengar ceritanya yang panjang. Ungkapan dan tanggapan dirinya
tentang diriku, dan apa yang dia dapatkan setelah melihat aku. Aku menghela
nafas panjang.
“Aku
hanya memiliki seorang ibu yang kini sudah tua untuk menafkahiku. Aku tidak
ingat bagaimana bahagianya memiliki ayah karena dia meninggalkan kami ketika
aku masih belum mampu untuk mengucapkan kata ayah. Aku dibesarkan dengan cinta
orang tua tunggal, dengan sesuap nasi yang terkadang kurang untuk kami berdua.
Yang aku inginkan saat ini hanyalah membuat ibu bahagia.”
Semilir
angin menjawab diam kami dengan nyaman. Pantai Kuta yang indah telah membuka
apa yang telah aku pendam selama ini. Diam-diam air mataku bergulir. Aku tidak
mengerti dengan keadaanku sekarang. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan. Sandhy
mengusap air mataku.
“Aku
mengerti sekarang,” matanya menatapku dengan lekat. Dia beranjak dari tempat
duduknya, dan kembali membawaku ke tempat dia mendirikan tenda.
***
Selesai
menikmati hidangan ikan bakar dan makanan khas Bali lainnya, aku dan Sandhy
duduk berhadapan ke arah laut, sambil sesekali tersenyum saling menatap satu
sama lain. Pasir Pantai Kuta yang hangat menjadi sejarah pertemuan kami hari
ini. Aku sempat memikirkan ibu yang sedang ada di rumah, namun aku memusatkan
kembali pikiranku ke pulau seribu warna ini, dengan malaikat yang tengah duduk
di sampingku. Kami berbincang tentang masa kecilku, tentang aku yang selalu
menghabiskan waktu di Pantai Kuta sambil melihat wisatawan asing yang silih
berganti.
Aku
menceritakan bahwa aku belum pernah melihat kota lain selain kota Denpasar dan
belum pernah melihat pantai lain selain Pantai Kuta. Sandhy pun bercerita
tentang kehidupannya yang singkat disini, hanya tiga tahun, dan hanya sedikit
yang dapat diingat oleh Sandhy tentang kota ini. Orang tuanya selalu memberikan
apa yang dia butuhkan, namun tak pernah memberikan dia kasih sayang semenjak mereka
tinggal di Jakarta. Lalu Sandhy bercerita bahwa dia memiliki keinginan untuk
menikah di kota kelahirannya.
Aku
serta-merta menahan hatiku agar tidak terasa sakit mendengarnya. Aku berpikir
bahwa mungkin Sandhy sudah memiliki calon istri yang sepadan dengannya. Yang
bisa ia bawa kesini lalu dinikahinya. Lagi pula, siapa aku? Berani-beraninya
berharap bahwa Sandhy kelak akan menjadi ‘seseorang’ bagiku. Kalaupun itu
terjadi, mungkin hubungan itu takkan pernah seimbang. Aku, gadis yang terbuang,
bahkan oleh ayahku sendiri. Mana mungkin dapat disejajarkan dengan Sandhy? Aku
menyadari semua itu, namun tak mengurangi apa yang aku rasakan saat ini
padanya.
Air
laut yang menari dipermainkan ombak, semakin sore seperti asyik merayapi batu
karang yang membentuk fatamorgana silau disirami sinar matahari yang mulai
menguning. Aku tidak mengerti dimensi waktu saat bersama Sandhy, semua
menjadi terlalu cepat tanpa benar-benar kita sadari.
Dan
celah-celah awan yang putih. Terpancar cahaya terang dari sang matahari yang
mulai turun. Mengintipku yang mulai diam menatap sinarnya dengan ragu. Seolah
ingin mengkristalkan waktu. Agar tidak terucap satu kata
perpisahan hari ini.
Pantai
Kuta yang berwarna-warni mulai terlihat gelap seiring dengan terbenamnya sang
surya. Sandhy melihat kearahku, “Kau melihat ini setiap hari?” tanyanya sambil
kembali menatap matahari di ujung lautan.
“Ya,
hampir setiap sore,” aku menjawabnya sembari tersenyum. Langit menyapaku lebih
dari biasanya. Seolah mengerti suasana hatiku saat ini. Ombak dari Pantai Kuta
menyapu kaki kami dengan lembut.
“Aku
mencintai kota ini dan aku berjanji suatu saat nanti akan kembali lagi untuk
memeluk tanah Denpasar ini bersama seseorang,” suaranya yang beriringan dengan
angin sore menghangatkan hatiku.
“Jangan
pernah berjanji untuk hal yang sulit kamu tepati,” aku berbalik badan dan
meninggalkan Sandhy yang masih tertegun oleh perkataanku.
***
Pagi
itu, sehari setelah bersama Sandhy, aku mencoba mencarinya di sekitar Pantai
Kuta. Berharap hari itu dapat terulang sama manisnya dengan kemarin. Namun, tak
sedikitpun ada tanda-tanda Sandhy disana. Kini aku tahu, Sandhy hanyalah
seorang lelaki yang datang ke kehidupanku tanpa memikirkan apa dan bagaimana
perasaanku. Dia pecundang, yang tak mungkin akan kembali lagi kesini untuk
menemuiku
Aku
mencoba memikirkan ulang apa yang terjadi kemarin. Dan apa yang harus aku
lakukan kedepannya. Tentu saja aku harus tetap berjualan jika memang aku dan
ibu masih ingin bertahan hidup. Dan melupakan suatu hal yang muluk tentang
cinta, tentang kebahagian jika memiliki seseorang. Aku berusaha menepis
angan-angan itu.
***
Sudah
enam bulan. Dan aku masih saja menatap pesisir Pantai Kuta ini. Aku berusaha
untuk tidak pergi kesana. Melihat kenanganku di balik pepohonan warna-warni
yang tersimpan rapi di pulau itu.
Aku
terlalu naif, mempercayai orang kota yang baru aku kenal. Dan yang lebih bodoh,
aku menyadari bahwa aku mencintainya! Meski itu rasa yang baru untukku, tapi
aku tak mungkin bisa menyangkal. Siluet demi siluet tentang Sandhy aku
singkirkan setiap harinya, berusaha untuk tidak memikirkan orang yang hanya
dalam sehari dapat merubah hidup dan perasaanku sampai sekarang.
Aku tak
berani menceritakan ini kepada ibu. Sudah terlalu banyak beban yang ibu
tanggung untuk kehidupanku. Aku tidak mungkin menceritakan hal sepele mengenai
kisah cintaku yang singkat di Pantai Kuta beberapa bulan yang lalu.
Aku
diam dan menatap ombak yang datang. Mengusik ketenangan pasir-pasir lalu pergi,
tetapi ombak tak pernah lupa untuk kembali.
“Aku
punya seribu warna untuk melukiskan tintanya di hatimu, Wida,” aku tertegun
mendengar suara itu, mengenal bisiknya yang selama ini aku buang jauh-jauh.
Namun aku tidak berani untuk menoleh, itu hanyalah sebuah kenangan dan
halusinasi yang terbentuk dari apa yang aku pikirkan.
Aku
terdiam, tidak tahan untuk mencari asal suara yang memang benar-benar terdengar
nyata. Aku menoleh dan tak seorangpun yang ada di balik bahuku. Aku
menghembuskan nafas kecewa.
“Maukah
kau menjadi seseorang yang selalu ada untukku?” Seketika aku menoleh ke depan
dan melihat Sandhy sedang tertunduk dan mengamati wajahku yang terlihat sangat
terkejut. Ini bayangan, tidak mungkin. Aku mematung dan menatap sosok yang
sangat mirip dengan Sandhy di hadapanku ini.
“Kamu
terlalu marah? Hingga tidak mau menjawabnya sama sekali?” Dia menyentuh wajahku
dengan lembut. Aku menggeleng-gelengkan kepala dan menyadari bahwa ini nyata.
Bukan bayanyan, bukan halusinasi belaka. Ini Sandhy, malaikat dengan pesona
yang hingga kini masih tidak aku mengerti keindahannya. Aku terpaku di matanya
yang kini menatapku, hanya beberapa senti di depan wajahku.
“Wida?”
Suaranya terdengar panik dengan diamku yang berkepanjangan. Aku mencoba
mengumpulkan detak jantungku yang kini berhamburan. Seketika aku memeluk
tubuh Sandhy. Menghirup aromanya, berusaha mengenali surga apa yang sedang
berada di dalam pelukku. Dia mengusap rambutku lembut, dan tak henti-hentinya
meminta maaf. Aku menarik kepalaku dari dadanya dan kembali menatap wajahnya.
“Jadi?”
Dia menarik sebelah alisnya sambil tersenyum penuh arti.
Aku
tersenyum, “Iya.” Lalu kembali menariknya dalam dekapan hingga Sandhy tak
mungkin lagi pergi, jika tanpa aku.
Sore
itu, di Pantai Kuta, telah tercipta surga yang luar biasa indah untukku. Dengan
bisik angin yang menyapa kami, seolah mengerti telah adanya janji yang
diucapkan antara sepasang insan di Pulau Dewata ini.
Kami,
sepasang tangan yang telah terpaut, bukan hanya saling melengkapi, namun juga
saling menguatkan antara perbedaan.
Aku
menginginkannya, dengan segala keterbatasan yang aku miliki. Aku mengaguminya
dengan segala kemampuan. Aku mencintainya, hingga ketika dia tertidur, kelopak
matakulah yang tertutup.***
Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway Bali Bids Aloha di www.itdoesexists.wordpress.com
Post a Comment
Thanks for coming. I am glad you have reading this so far.
♥, acipa