Ini adalah
surat yang kutulis untuk seorang sahabatku, Nandawati Utami Putri L
Kepada :
Sahabatku yang dulu ada di
sampingku
Di Bumi-Nya yang Maha
Rahim
Assalamu'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Apa kabarmu hari ini?
Kuharap engkau selalu dalam limpahan kasih sayang iman dan islam-Nya.
Sahabatku, izinkan aku
untuk memulai kata demi kata surat ini dengan menuliskan satu kalimat kunci,
yaitu, "Aku masih ragu akan perkataanmu."
Nan, entah dirimu sadar
atau tidak. Hampir selama 5 bulan ini, kamulah yang selalu membuat aku ragu,
namamulah yang selalu membuat aku ingat akan kejadian itu, dan kehadiranmulah
yang selalu membuatku jauh menghindarimu...
Sahabatku, entah apakah
ini adalah sebongkah perasaan rasa benci yang syetan jejalkan pada hatiku? Ataukah
ini memang benar-benar jalan takdirku? Yang kutahu, selama 5 bulan itu dirimu
sudah cukup membuat hati ini merasakan kecamuk hati yang membuatku geram,
kesal, kecewa, bahkan menangis.
Nan, awalnya aku merasa
kejadian itu hanyalah hal biasa yang pasti kulalui dalam hidupku. Tiada kesan
yang cukup berarti. Tetapi mengapa, seiring waktu berjalan, justru hati ini
makin benci pada hal itu? Dan lambat laun justru keadaan itu semakin parah
dengan aku yang tak ingin berpapasan denganmu karena marah yang teramat. Sekali
lagi aku tak mengerti, apakah itu rasa benci?
Sahabatku, seperti yang
dikatakan dalam hadist, pertengkaran yang melebihi 3 hari, hukumnya dosa. Dan
aku merasa mawas diri akan hal itu. Kita telah berjauhan lebih dari 3 hari. Dan
waktu 5 bulan itu bukanlah waktu yang tak sedikit. Aku tak mengerti mengapa aku
bisa melewati waktu 5 bulan itu. Aku tak pernah mengerti, Nan... Tapi jika
memang aku tak salah, Allah telah menakdirkan hal ini terjadi padaku. Ya, rasa
itu. Ragu.
Empat bulan lamanya aku 'tersiksa'
oleh perasaan ini. Ya, tersiksa. Aku tak bisa berkomunikasi denganmu seperti
aku berkomunikasi kepada sahabatku yang lain, aku terlalu canggung untuk
melakukannya. Entahlah, aku merasa terlalu takut untuk mengatakan satu patah
kata pun kepadamu. Dan bahkan, Sahabatku, terkadang aku ingin membuatmu
sama-sama kesal. Terkadang aku sengaja seperti menekankan perkataanku tiap kali
kamu lewat. Aku tak pernah mengerti mengapa aku harus bersusah payah melakukan
itu padamu, padahal diri ini sama sekali tak tahu apakah kamu benar-benar
menganggapnya?
Terkadang aku menjawab
pertanyaan tersebut dengan berkata kepada hatiku sendiri, "tentu saja kau
juga pasti kesal, kalau tidak, kenapa kau seperti selalu berusaha menutup diri
di depanku dan kenapa kau selalu berusaha menghindar dari hadapanku?"
Tetapi Sahabatku,
kenyataan yang membuatku sadar justru datang padaku akhir-akhir ini. Entah dari
siapa yang memulai, entah itu sahabat-sahabatku yang lain atau memang dari
diriku sendiri. Tapi, yang aku tahu, itu adalah kehendak-Nya yang tak bisa
dipungkiri lagi.
Dan kau tahu, aku sama
sekali tak menyangka aku akan mendapatkan petunjuk yang luar biasa! Ya, aku
tau. Allah memang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, begitupun Ia sangat
mengasihi dan menyayangiku. Tetapi, aku
juga tau kalau ini adalah saatnya untukku mengatakan apa yang bersarang dalam
hatiku selama ini. Itulah mengapa, awalnya aku tak peduli tentang petunjuk yang
diberikan-Nya. Terkadang aku mengira, ini hanyalah pikiran yang tak bermakna.
Bahkan, kesempatan-kesempatan yang diberikan-Nya untuk melakukan hal ini,
sering aku buang dan aku abaikan.
Meskipun dirimu masih
membuatku ragu, aku tetap tak bisa menolak keinginan-Nya ini. Bagiku, jika
memang sudah saatnya untuk mengatakan hal ini,
pastilah Allah sudah menyusun rencana yang baik untuK kita.
Maksudku, aku telah siap
untuk menuangkan segala curahan hatiku selama ini kepadamu. Dan aku tahu, Allah
akan melancarkan semua niatku yang InsyaAllah tujuannya memang baik.
Aku tak mengerti bagaimana
perasaanku saat menuliskannya dalam secarik kertas surat ini. Terus terang dan
untung saja saat itu aku sedang bersemangat. Sehingga, perasaan kecewa yang
mungkin seharusnya kurasakan itu pelan-pelan ditepis kepastian diri. Aku mulai
menyadarinya...
Tetapi ada beberapa hal
yang perlu kau ingat!
1. Aku masih ragu dengan
perkataanmu.
Bukan karena kita sudah
berjauhan lantas aku melupakan segala ingatan dan memori yang dulu pernah
terjadi. Aku masih ingat akan hal itu, aku benar-benar masih mengingatnya. Kata
demi kata yang dulu kau ucapkan, masih terngiang jelas di pikiranku.
Akan tetapi, Dia telah
menyadarkanku, kesadaran agar aku menjadi orang yang bisa kau jadikan tempat
curahan jiwa. Semua karena Dia, karena Sang Maha Bijaksana. Aku tak ingin
ibadahku kepadaNya terganggu karena masalahku denganmu. Aku tak ingin rasa
benciku padamu membuatku melakukan hal-hal yang aneh. Maka sebenarnya, aku
memang masih ragu, tapi aku sudah pelan-pelan menenggelamkannya dalam catatan
kehidupanku jauh sebelum aku mendengar permintaan maaf darimu.
2. Aku masih
mengharapkanmu kembali.
Kau tahu, hidupku masih
terlalu kurang untuk menjadi bagian dari makhluk ciptaan-Nya. Aku masih
membutuhkan orang-orang yang menjadi pengisi hatiku. Mereka yang namanya sudah
tertulis di Lauhul Mahfudz untuk menjadi sahabat sejatiku. Dan apakah kau
berpikir, kaulah salah satu diantara banyak orang itu, mereka yang menjadi
teman, kawan, sahabat, dan saudaraku?
Terus terang aku cukup
yakin akan hukum '1000 orang sahabat masihlah kurang, 1 orang musuh terlalu
banyak'. Maka aku yakin, masih ada banyak orang yang mau menjadi sahabatku, dan
aku harap kau pun salah satu diantara mereka.
Sahabatku, sungguh, aku
hampir berhasil melaksanakan tugas-Nya, dan itu semua berkat Dia. Aku bersyukur
Dia sangatlah sayang padaku, sehingga Dia telah tunjukkan jalan yang terbaik
untukku. Dirimu yang memang seharusnya kembali seperti dahulu. Dia telah
menunjukkan padaku, bahwa aku bisa mengubah keadaan antara kita menjadi lebih
baik dari sebelumnya.
Sahabatku, maafkan aku apabila
ada kata-kata yang kurang berkenan. Aku ini hanyalah hambaNya yang dhaif dan
masih sering terlena jebakan syaitan nirrajim.
Sekian surat dariku,
semoga kita semua mendapatkan yang terbaik menurutNya, Aamiin..
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Itu adalah
surat yang Syifa tulis untuk salah seorang sahabat Syifa yang akhir-akhir ini
sedang menjauhi Syifa. Kalau tidak salah, Syifa mengirimkannya bulan Maret yang
lalu. Akan tetapi, sampai saat ini, belum ada balasan darinya. Apakah itu balasan
surat, balasan sapaan, dan hal lainnya. Jujur, Syifa memang kecewa, tapi ya
sudahlah… Mungkin Allah belum menakdirkan kami untuk saling bermaafan
betul-betul. Hanya saja, harapan Syifa suratnya bisa dibalas diiringi balasan hati
yang sudah terbukakan. Amin Ya Robbal Alamin.
Oh iya, FYI,
ini surat sebenarnya ‘fotocopy’-an dari surat Ukhti Fia. Tapi, yang pasti, situasi, kondisi, dan keadaan cerita
dalam suratnya jelas berbeda, dong ya. *Maaf ya Ukhti, nggak izin dulu ;;)*
iya nggak masalah Ti :D
ReplyDeletehihihi, pantes kok rasanya ini surat ga asing sih
Hehe...Abisnya waktu itu lagi blank banget mikir kata-katanya :D
Delete:D
ReplyDeleteuntuk seumuran syifa, ini kalimat udah sangat bagus... jadi malu, nuat nulis isi hati aja kadang nggak bisa sebagus ini...
mudah2an syifa ama sahabatnya bisa kembali baikan seperti dulu lai. Amiin y Allah :)
Terimakasih Kak Lusia. Ini pun nyontek dari surat temen aku kok xD
DeleteAmin amin, semoga ya aku bisa baikkan sama dia :)