HARAM
Dalam akidah Islam, setiap perbuatan baik yang diawali bacaan “basmallah”
dan diakhiri ucapan “tahmid” adalah ibadah. Ada ibadah wajib, ada ibadah
sunnah. Demikian juga dalam hukum: ada haram, ada halal. Dalam konteks
beribadah, mengerjakan sesuatu yang haram berarti melanggar perintah Allah
alias berdosa, karenanya akan mendapatkan hukuman siksa di neraka. Bila
meninggalkan yang haram artinya mendapatkan pahala.
Rasulullah SAW pernah bersabda dalam bahasa yang lugas, jelas,
dan tidak multi-tafsir mengenai masalah tersebut. “Sesungguhnya perkara yang
halal itu sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Diantara keduanya ada
perkara yang syubhat samar-samar. Barang siapa menjauhi yang syubhat, berarti
dia telah berserah diri untuk menjaga agamanya dan akhlaknya. Dan, barang siapa
yang melakukan syubhat, dia akan jatuh ke dalam keharaman. Ibarat penggembala
di dekat taman terlarang, selangkah lagi gembalaannya (nafsunya) pasti masuk ke
dalamnya. Ingatlah, sesungguhnya setiap raja itu ada larangannya. Ingatlah (Dia
Maha Raja), larangan Allah itu adalah perkara-perkara yang haram.” (H.R.
Bukhari – Muslim).
Belum lama ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan
fatwa “haram” bagi rokok dan bagi golongan putih yang tidak menggunakan hak
pilihnya dalam Pemilihan Umum. Aneh bin ajaibnya, “pengharaman” itu tidak
berlaku bagi seluruh umat Islam. Bahkan ada catatan khususnya, dalam hal
merokok “haram bagi anak-anak, ibu hamil dan menyusui”.
Dengan logika demikian, maka pasti daging kambing pun suatu
saat akan “diharamkan” bagi para penderita darah tinggi, jantung, dan asam urat.
Hukum macam apa itu? Tidak konsisten. Tidak istiqomah. Tidak taat asas.
Ambivalen. Ambiguitas. Mendua. Kacau!
Fatwa tersebut kalau hanya terbatas sebagai “imbauan moral”
bagi Muslimin-Muslimat, tidak memasuki wilayah haram, dapat dimaklumi. Namun,
karena sudah merambah kepada wilayah ibadah, berbeda persoalannya. Sebab, haram
dalam terminologi Islam, itu artinya kalau dikerjakan berarti melanggar
perintah Allah, berdosa, pasti akan disiksa di neraka. Atau, jangan-jangan ada
motif materi dan duniawi kepada pihak tertentu di balik fatwa tersebut?
Padahal Allah SWT mengajarkan keistiqomahan, konsistensi dalam
penerapan hukum. Firman-Nya “Maka, apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran?
Kalau sekiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Q.S. An-Nisa [4]: 82).
Nabi Muhammad SAW pun dilarang ketika mengharamkan madu, walau
untuk dirinya sendiri. Karena motifnya untuk menyenangkan istri-istrinya yang
cemburu kepada salah seorang istri Rasulullah yang lain, yang biasa menyuguhkan
madu dan melahirkan putra Nabi SAW bernama Ibrahim.
Allah SWT berfirman: “Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan
apa yang telah Allah halalkan bagimu; kamu hanya mencari kesenangan hati
istri-istrimu? Dan, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. At-Tahrim
[66]: 1).
“Katakanlah: ‘Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang
diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya
halal.’ Katakanlah: ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu tentang ini
atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Q.S. Yunus [10]: 59)
“Dan, janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah . Sesungguhnya, orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (Q.S. An-Nahl
[16]: 116)
“Dan, kepada orang-orang
Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku serta dari sapi dan domba.
Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, kecuali lemak yang melekat
di punggung keduanya atau yang ada di dalam perut besar dan usus atau yang
bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka disebabkan
kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar.”(Q.S. Al-An’am
[6]:146)
“Orang-orang yang menyekutukan Tuhan, akan mengatakan; ‘Jika Allah
menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak menyekutukan–Nya dan tidak
pula kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.’ Demikian pulalah orang-orang
sebelum mereka telah mendustakan para rasul sampai mereka merasakan siksaan Kami.
Katakanlah: ’Adakah kamu memiliki suatu pengetahuan sehingga dapat kamu
mengemukakannya kepada kami?’ Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan
kamu tidak lain hanyalah berdusta,”(Q.S. Al-An’am [6]: 148).
“Katakanlah: ‘Bawalah kemari saksi-saksi kamu yang dapat
mempersaksikan bahwa Allah telah mengharamkan yang kamu haramkan itu.’ Jika
mereka mempersaksikan, maka jangalah kamu ikut pula menjadi saksi bersama
mereka; dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat,
sedang mereka menyekutukan Tuhan mereka.” (Q.S. Al- An’am [6]: 150)
“Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu
oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu menyekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat
baiklah terhadap kedua orang tua ibu bapakmu, dan janganlah kamu membunuh
anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan
kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik
yang tampak maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah membunuhnya, melainkan dengan sesuatu sebab yang benar.’
Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahaminya.” (Q.S. Al-An’am
[6]: 151)
“Dan, yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus,
maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena
jalan-jalan itu menyerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-An’am [6]: 153)
Dari beberapa ayat Al-Quran yang dikutip di atas, sangat
jelaslah bahwa hanya Allah SWT yang paling berhak menentukan yang halal dan
haram. Bukan berdasarkan akal, apalagi dengan motif dan niat agar pihak
tertentu membagikan sebagian keuntungannya dan memberikan kontribusi yang
signifikan, dengan dalih, untuk kemajuan umat Islam sebagai penduduk mayoritas
di negeri ini. Akal bukanlah sumber hukum. Fungsi akal dalam hal ini hanya
terbatas untuk memahami, menalar fakta permasalahan dan nash-nash syara’ yang
berkaitan dengan permasalahan tersebut. Bukan untuk menentukan halal-haramnya
masalah!
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia Pemberi Keputusan yang paling baik.” (Q.S. Al-An’am [6]:
57). “Menetapkan hukum hanyalah hak
Allah. Dia memperintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.” (Q.S. Yusuf
[12]: 40). “Tentang sesuatu apa pun kamu
berselisih termasuk hukum, maka putusannya terserah kepada Allah.” (Q.S.
Asy-Syura [42]: 10)
Kesimpulannya: Hanya Allah Azza Wajalla yang menjadi Musyarri’
(Pembuat Hukum) dalam masalah ibadah. “ingatlah, Menciptakan dan Memperintahkan
hanyalah hak Allah.” (Q.S. Al-A’raf [7]: 54).Wallahu’alam.
Disadur dari: “BUKU HARIANKU” karya DARATIA WIDIA
PRIMA.
Post a Comment
Thanks for coming. I am glad you have reading this so far.
♥, acipa