Barangkali aku cukup banyak belajar dari semester pertama tentang berbagai hal. Satu yang aku kagumi atas diriku sendiri adalah, aku mulai bisa memilih apa yang baik menurutku. Mungkin terkesan narsis banget, tapi percaya atau nggak ini adalah kemajuan yang aku syukuri.
Kalau kamu sempat membaca tulisanku ini, pasti tahu aku adalah tipe orang yang nggak begitu optimal menjalani enam-bulan-pertama sebagai mahasiswa baru. Maksudku, IP yang kudapatkan mediocre banget, mungkin salah satu sebab gagalnya adalah ekspektasiku yang kadang naik-turun, dan iya... kenyataan yang kudapatkan di bawah harapanku yang sedang-sedang saja itu, ya makanya hasilnya segitu. Jadi, ya sudah, nggak usah bahas-bahas IP, sensitif.
Di setengah semester ini, aku masih menyadari aku sama nggak maksimalnya, tapi at least... aku sadar lebih dini. Kadang, aku harus memuji hal-hal gini supaya bisa memuaskan hati sendiri. Narsis lagi kan? Bukan apa-apa, tapi reward dan punishment yang diajarkan seseorang padaku, cukup ampuh untuk mendoktrin diri.
Mungkin kamu bakal bilang aku orang yang weirdo, haus semangat dari orang lain, dan apalah itu pemikiran yang bukannya menenangkan tapi bikin aku jadi serba salah. Aku kenal seseorang yang acapkali menilai orang lain hanya karena dia begini dia begitu, di satu sisi aku sempat setuju dengan pemikirannya, tapi andai aku lebih membumi lagi yang dia ucapkan terlalu "menyakiti" hati orang lain, sadar atau tidak.
Aku nggak mau ngomongin orang ah, pamali.
Jadi begitu, aku hanya ingin bertutur kisah tentang seseorang yang hari ini jadi biasa saja. Nggak ada istimewanya, aku hanya... ingin menjalani kehidupan dengan tak perlu seambis orang-orang. Aku hanya ingin menikmati setiap jengkal demi jengkal yang kulalui dengan baik. Berproses. Belajar. Dan berusaha. Mungkin tidak sespektakuler itu, tidak seterburu-buru itu, tapi setenang orang-orang yang mengusahakan proses untuk mendapatkan hasil yang ia perjuangkan, bukankah akan lebih menyenangkan?
Iya nggak?
Dalam banyak hal, aku jadi lebih banyak merenung, memikirkan sebab akibat yang akan terjadi, lebih kalem dari yang biasanya. Satu dua hal aku tinggalkan bukan karena aku nggak mau mengambil kesempatan untuk belajar dari sana yang kutahu akan menguntungkan untuk kehidupan di masa depanku, sama sekali nggak, tapi aku tahu memikul tanggung jawab tak semudah menanggung beban angkat 5 kg kan? Eh, itu juga susah sih. Bukan aku nggak mau, tapi percayalah aku bahagia dengan ini.
Aku yang dulu dikenal cepat dalam mengambil tindak, kadangkala ceroboh juga karena tak banyak berpikir ini-itu. Makanya, kali ini tentu boleh kan lebih pemilih pada apa saja supaya aku tak lagi salah? Memang, mengambil tindakan cepat itu baik, aku masih mempertahankan itu, tapi aku mulai menatanya untuk tak lagi menyesali keputusan mana yang kuambil nantinya.
Kalau satu hari aku berubah jadi introvert, mungkin nggak ya? Pertanyaan ini sempat terlintas di benakku. Aku sih cuma tertawa saja, membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi seandainya aku beneran jadi orang yang kayak gitu. Bukan aku tidak menghargai orang-orang introvert, malah aku sering bertanya-tanya bagaimana bisa ada orang yang pembawaannya berlawanan denganku—aku mau juga kayak mereka, di waktu-waktu tertentu, lebih deep soal cara berpikir.
Sekali lagi, bukan karena aku nggak bersyukur untuk apa yang telah Allah kasih, tapi siapa tahu aku sedang butuh waktu jeda untuk rehat sejenak saja, mendinginkan pikiran agar jangan sampai terlalu kusut.
Aku masih ingin mencicipi banyak kesempatan, apapun itu, seperti mimpi-mimpi yang pernah kutulis. Tapi, tak ada salahnya kan untuk berhenti tanpa interupsi tanpa paksaan tanpa apa-apa, hanya berhenti dan berpikir lebih dalam?
Kadang berhenti sebentar emang bikin refresh lg buat memikiran rencana ke depan ya mbk? TFS
ReplyDeleteIya, daripada grasa-grusu apalagi kalo dibarengi otak yang terlalu banyak pikiran :D
Delete