Empat tahun sepeninggal Papa dan Mama mereka berdua, di rumah yang megah dan besar itu seakan sepi, bagaikan menjadi penjara bagi penghuninya. Sehari-hari mereka cuma mengurung diri sambil menikmati keindahan istananya. Terlepas dari lingkungannya. Terlepas dari alam bebas yang indah ini.
Hanya ada Dela, Kak Aca,
seorang pembantu rumah tangga, Mbok Ati, dan seorang supir pribadi, Pak Udin.
''Mbok, sepatu Dela mana?
Mau berangkat sekolah nih, lama banget sih! Gak disiapin ya?'' teriak Dela.
''Maaf, Non, Mbok lupa, ini
Non,'' dengan tergesa-gesa, Mbok Ati menyerahkan sepatu Dela.
''Euuuh...Udah tua, pikun
lagi,'' ucap Dela merendahkan.
Kebiasaan Dela memang
begitu, kepergian Mama dan Papanya membuat sikap lemah lembutnya menjadi
berubah, menjadi arogan, sombong, dan egois. Sama halnya dengan Kakaknya, Kak
Aca, entah pikiran apa yang menjadikan mereka berdua berubah 180 derajat. Dulu,
mereka baik, rajin, lemah lembut, dan periang, tapi karena tragedi kecelakaan
itu, mereka benar-benar berubah. Sungguh, perubahan yang tak pernah terduga.
''Pak, nanti pulang
sekolah, jemput Aca dulu. Jam 2 siang, harus pas, gak boleh telat!'' perintah
Kak Aca saat sedang berada di dalam mobil.
''Enak aja, Dela dulu.
Kemarin, Kakak. Sekarang, Kakak. Jangan gitu dong!'' timpal Dela ketus.
''Terserah Kakak dong.
Kenapa kamu yang ngatur. Lagian Kakak ada janji, nah kamu, mau apa? Heuh?
Foya-foya? Habisin uang buat jalan-jalan ke mall bareng sama temen-temen yang
matre itu?'' bentak Kak Aca.
''Emangnya siapa? Temen aku
cuma Cecil, lagian dia gak matre tuh. Emangnya Kakak juga gak ngabisin uang
apa? Kakak pernah 'kan jalan-jalan ke Singapura bareng sama pacar Kakak yang
katanya baik itu, tapi apa buktinya? Dia sama aja kayak cowok lain,
matrealistis?''
Plaaaaaak...
Tamparan keras mengenai
pipi kanan Dela, suasana di mobil itu seakan menjadi tambah gaduh, karena suara
mereka yang begitu keras. Pak Udin, tak bisa menahan keributan itu, karena jika
ia melakukan hal demikian, tamatlah sudah pekerjaannya.
Tiba di sekolah Dela, Dela
tidak mau keluar dari dalam mobil.
''Non, sudah sampai,'' ucap
Pak Udin sopan.
''Tuh, udah nyampe di
sekolah, cepetan keluar,'' Kak Aca seakan mengusir Dela dengan lagak
sombongnya.
''Gak mau. Dela gak mau
sekolah. Apa kata temen-temen Dela nanti, datang sekolah kok kayak keroyokan
dulu,'' jawabnya sambil mengelus pipinya lembut.
''Heuh...Dela...Cepetan,
masuk sekolah. Kamu kira guru kamu bakal maklum, kalau seorang Jenita Dela
Andina gak masuk sekolah cuma karena ditampar. Alasan yang aneh,'' seru Kak
Aca.
''Sekali gak mau, tetep gak
mau,''
Pintu mobil terbuka, dan .
. .
Bruuuuuuuuuuk, Kak Aca
sengaja mendorong Dela untuk keluar dari dalam mobil.
Dengan geram, Dela
menendang pintu mobil itu. Baginya, lecet, rusak, atau bahkan hilang sekalipun
pada mobil itu, tak menjadi masalah besar. Toh, ia masih bisa beli baru lagi.
Dengan kesalnya, Dela masuk
sekolah. Ia membayangkan bagaimana jadinya nanti, jika teman-temannya bahkan
Winda menertawakannya karena pipi kanannya itu. Aaah...Pasti itu sangat
memalukan.
''Delaaaa...'' panggil
seseorang dari belakang seraya menghampiri Dela.
''Hai...Cecil,'' balasnya.
''Gimana kabar kamu hari
ini?'' sapanya dengan wajah ceria.
''Agak kurang baik,''jawab
Dela sambil menunjukkan pipi kanannya itu.
''Ya ampun, pipi kamu
kenapa? Berantem lagi sama Kakak kamu? Yaaah...Dela...Dela...,''
''Kak Aca, nampar aku
gara-gara aku sebut pacarnya matre. Terus, aku didorong dia dari mobil buat
keluar, tuh liat lutut aku jadi berdarah gini,'' tambah Dela.
''Ya udah, kita ke UKS dulu
yuk. Kalau nggak, takutnya infeksi,'' ajak Cecil.
***
Pipi kanan Dela mulai
membaik, tadi sedikit agak membiru, seakan bertambah parah hingga menjalar pada
bagian gigi. Tapi, beruntung, ternyata itu hanya sementara. Namun, luka di lutut
Dela lumayan bengkak, Winda pun sempat mencibir Dela, tapi bagi Dela, hinaan
Winda itu memang tak berarti. Mungkin saja, Winda iri padanya.
''Cecil, makasih ya. Untung
aja ada kamu, jadi lukanya gak sampai infeksi,''
''Iya...Sama-sama. Makanya
kamu jangan berantem terus. Oh iya, kita ke toko buku yuk. Kayaknya hari ini
ada buku baru deh,'' ajak Cecil.
''Ayo...''
Di perjalanan, Cecil seakan
menyembunyikan satu hal yang menggembirakan bagi dirinya sendiri bahkan Dela.
Dia terkadang tertawa sendiri melihat tingkah laku Dela. Aaah...Sungguh
benar-benar tepat, pikirnya.
Bagi Cecil, di toko buku
langganan itu serasa di surga, disana banyak sekali buku-buku, mulai dari buku
pelajaran, buku fiksi, ensiklopedia, dan masih banyak lagi. Tapi, berbeda
dengan Dela, ia ke toko buku hanya sekadar mengantar Cecil dan cuci mata,
karena kasir disana bisa dibilang tampan menurutnya, walaupun umurnya terpaut
jauh dengan Dela. Ada dua kasir disana, kembar pula, namanya Kak Bias dan Kak
Binar. Sama-sama tampan. Sama-sama smart. Dan Dela suka mereka.
''Oh iya, kata kamu tadi
ada buku baru. Pengen baca dong, siapa tau minat nih,'' Cecil agak bingung
mendengar ucapan Dela, tapi di sisi lain ia senang.
''Nih, semoga bagus deh
bukunya,'' Cecil memberikannya dengan tersenyum manis.
JENDELA TANPA KACA
Cecilia Revita Minan
''Haah...Benarkah?'' tanya
Dela kebingungan.
''Iya, itu buku karangan
aku, kebetulan hari ini launching disini. Jam 2 nanti, bakal ada Meet n' Greet
lho,'' balas Cecil bangga.
''Cieee...Kayaknya seru
tuh, tambah seru kalau dapat tanda tangan Cecil dan gratis pula,'' canda Dela
seraya memberikan senyuman terindahnya pada Cecil.
''Iya...Apa sih yang gak
buat Dela ini,''
''Sejak kapan kamu belajar
ngegombal? HaHaHa. Oh ya, bukunya tentang apa sih?''
''Baca aja coverbacknya,
semoga kamu bisa ambil hikmahnya,'' tambah Cecil.
***
Pertemuan Meet n' Greet
buku Cecil yang keempat itu, lumayan rame, Dela pun ikut mengantri pada barisan
fans Cecil, layaknya penggemar sejati yang setia membaca buku-buku karangan
Cecil.
Jam menunjukkan pukul
17.00, sepertinya benar, Kak Aca ada urusan. Dela merasa ada yang tidak nyaman
atas kepergian Kak Aca. Entah kenapa.
Waktu berlalu, jam dinding
itu terus berbunyi, jam 22.00. Kak Aca belum pulang juga. Rasanya baru pertama
kali ini, Dela merasa kesepian, karena Kak Aca belum pulang. Setahu Dela, Kak
Aca sering pulang sore, atau kalaupun ia terlambat, hanya sampai jam 7 malam,
tidak sampai larut benar, karena Kak Aca mengambil mata kuliah pagi, bukan
malam.
Mbok Ati dan Pak Udin
sekali-kali menengok kepada Dela, memastikan apakah Dela sudah tidur atau
belum. Dan pastinya, mereka pun khawatir karena Kak Aca belum pulang juga. Pak
Udin sempat menanyakan pada teman kampusnya, tapi mereka pun tidak tahu.
Dela tidak bisa tidur,
menunggu Kak Aca. Ia teringat, buku Cecil. Ia ambil bukunya, dan lalu
membacanya. Hanya beberapa halaman saja, tapi ia sudah mengerti maksudnya.
Rasanya, cerita karangan Cecil itu seperti catatan kehidupan Dela saat ini,
tapi ada satu kejadian yang tidak pernah Dela rasakan, Kakak dari Jeje, tokoh
utama itu meninggal dunia karena kecelakaan. Dela merasa aneh saat itu. Ia
memutuskan untuk meminta Pak Udin mengantarnya mencari Kak Aca, jam 23.45 di
Jakarta masih ramai, seperti baru jam 7 saja, jadi tidak terlalu khawatir
baginya.
***
Dela tersenyum melihat
gundukkan tanah di hadapannya. Sudah 1 tahun Kak Aca meninggal akibat
kecelakaan itu, tapi Dela selalu merasa bahwa Kak Aca selalu ada di dekatnya.
Dela berjongkok di samping batu nisan nya, dan menaburkan bunga di makamnya.
"Kakak lagi apa
disana? Kabar Kakak gimana? Baik-baik aja ‘kan? Kakak tau gak? Dela kangen sama
Kakak, rasanya Dela ingin nyusul Kakak kesana. Dela ngerasa kesepian gak ada
Kakak. Kangen pas kita berantem. Kangen pas Kakak nampar pipi Dela. Kakak
kenapa gak ajak-ajak Dela, Kakak lagi main ya sama Papa dan Mama," ucapnya
menangis sambil mengelus batu nisan nya yang terdapat tulisan 'Kinanta Aca
Cantika'.
Dela merasa, ia ingin
menggantinya dengan namanya saja. Dan rasanya, ia pun ingin menggantikan Kak
Aca di bawah gundukan tanah itu. Ia membayangkan, pasti disana, Kak Aca sedang
berkumpul dengan Paph dan Mama.
"Cecil…Kenapa kamu
bikin buku itu? Kenapa harus Jendela Tanpa Kaca ? Kenapa?" gumam Dela.
Post a Comment
Thanks for coming. I am glad you have reading this so far.
♥, acipa